Monday 30 September 2019

Gunung Nona Enrekang


Dan tiba-tiba teman saya menghentikan kendaraannya di sebuah cafe dipinggir jalan, saat kami melakukan perjalanan dari Tana Toraja ke Enrekang. Saya pun bertanya, "kenapa kamu memberhentikan kendaraanmu disini ?". "Saya hanya ingin memberitahu abang bahwa disini ada Gunung Nona, barangkali saja mau mengambil dokumentasi", jawabnya.


Hah...Gunung Nona ? Kenapa disebut Gunung Nona ? Karena bentuk nya mirip kelamin perempuan bang.

Gunung, biasanya bentuknya itu ya gitu-gitu aja, enggak jauh berbeda dengan gunung lainnya. Tapi ternyata di Enrekang, Sulawesi Selatan, ada satu gunung yang bentuknya unik banget, gunung itu sendiri bernama Gunung Nona.

Kenapa dinamai Gunung Nona? karena kalau diperhatikan dengan jelas bentuk gunung ini disebut mirip dengan alat kelamin perempuan.


Kalau kalian melihat dalam angle yang tepat, gunung ini pasti terlihat seperti alat kelamin perempuan. Tapi kalau diliat dari jauh dan hanya sekilas, ya paling terlihat seperti gunung biasa aja.


Jadi, di gunung itu ada gundukan-gundukan tanah berbentuk garis yang disebut mirip alat kelamin wanita. Eiittss jangan berpikir aneh-aneh ya, bagi warga lokal hal itu bukanlah cabul melainkan lambang kesuburan.

Menarik kan ???

Sunday 29 September 2019

Melihat Adu Kerbau Toraja di Tondon Siba'ta


"Besuk ada acara Ma’pasilaga Tedong mas", kata kawan saya sambil menunjukkan beberapa gambar kerbau petarung. "Ma'pasilaga Tedong artinya pertarungan kerbau. Acara ini biasanya digelar untuk menghibur tamu dan keluarga yang sedang berduka", imbuhnya.

Dalam kehidupan orang Toraja, kerbau adalah hewan yang sangat penting dan suci, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun kebutuhan upacara adat serta kebudayaan.

Selain harganya yang mahal, kerbau juga dianggap sebagai hewan suci dalam upacara kematian. Orang Toraja juga menjadikan kerbau sebagai jagoan tarung.

Berdasarkan informasi yang saya dapat tersebut, saya berencana menghadiri acara Ma'pasilaga Tedong yang diadakan di daerah Tondon Siba'ta, Toraja Utara. Acara dimulai pukul 11.00 WITA sampai pukul 16.00 WITA.

Dengan menggunakan mobil kami berangkat ke lokasi, sempat beberapa kali bertanya karena lokasinya agak masuk ke dalam. Biasanya arena nya dipilih di persawahan yang agak luas.

Tepat pukul 11.30 WITA, kami tiba di lokasi, tampaknya sudah banyak masyarakat yang memadati arena. Saya memilih duduk di depan agar bisa melihat dengan jelas.

Rupanya saat kami datang sudah dipertandingkan beberapa tim. Namun masih ada beberapa tim lagi yang akan berlaga. Nama timnya dipanggil oleh pembawa acara. Dan kerbau pun digiring ke arena lalu ditarungkan.

Saya dan beberapa kawan sempat melihat 2 pertandingan. Lumayan seru sih. Tapi kasihan dengan kerbau nya. Sepertinya ada yang terluka.

Karena masih ada beberapa lokasi yang harus kami kunjungi, maka kami beranjak meninggalkan arena pertarungan kerbau tersebut.











Friday 27 September 2019

Tana Toraja


"Kopi nya pahit atau tidak bang?" Sebuah keramahan yang saya jumpai siang ini di Toraja. Karena tidak suka yang manis maka saya sampaikan yang sedang saja kawan. Setelah kopi tersedia kami berdua duduk sambil menikmati secangkir Kopi Toraja.

Obrolan kami lakukan mulai dari hal-hal ringan sampai pada titik kami membahas soal tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi. Nah ketika berbicara perihal ini, apa iya? Kopi masih tetap pada posisinya?  Atau sudah bermetamorfosis jadi 8 arah mata angin?

Hahaha...bagus dong, sekarang kita punya 8 arah untuk berjalan dengan kaki kita masing-masing sambil bicara soal wisata di Toraja.

Banyak masyarakat Indonesia menyebutkan bahwa Tana Toraja adalah sebuah surga yang tersembunyi. Dimana keindahan Toraja tidak akan habis untuk diexplore.

Mulai dari keindahan alamnya, keunikan budayanya, keramahan masyarakatnya dll. Sebuah kesempatan yang luar biasa saya bisa mampir di Tana Toraja.

#WelcomeToToraja









Thursday 26 September 2019

Perjalanan dari Sorowako ke Belopa


Ini masih cerita perjalanan saya dalam tour of duty 8 kota di Sulawesi Selatan. Kota-kota yang sudah saya kunjungi adalah Makassar - Palopo - Sorowako - Belopa. Dan rencananya akan saya lanjutkan ke Rantepao - Enrekang - Pare-pare - Maros.

Hari ini saya ingin sedikit berbagi cerita tentang perjalanan dari Sorowako ke Belopa. Perjalanan ini sebenarnya pemanasan untuk menguji kekuatan saya dalam melakukan sebuah perjalanan. Saya memulainya dari Sorowako ke Malili, kemudian Malili ke Palopo dan akhirnya berakhir di Belopa. Tujuan akhir  inilah, yang sekaligus menjadi tempat awal menulis catatan. Di warung kopi dengan musik, dengan kopi, dan dengan hiruk pikuk.

Selama perjalanan sembilan hari – terhitung pada Rabu hingga Kamis – kegelisahaan saya memuncak, kecanduan saya memegang tuts android untuk menulis perjalanan menjadi candu yang harus segera dilakukan. Seperti berak, yang bila ditahan akan membuat diri menjadi sakit.

RUTE PERTAMA, sekitar pukul 16.00 WIB mobil yang saya kendarai meliuk di jalan aspal yang kuat, melewati tikungan, menikmati deretan pohon di pinggir jalan, mendaki, menurun, dan memandangi sungai Larona. Jalan dari Sorowako menuju Malili ibukota Kabupaten Luwu Timur sepanjang sekitar 60 km.

Jalan mulus itu, dibangun PT Vale perusahaan penambang Nikel untuk jalur kendaraan tambang dan kendaraan umum. Jalan-jalan itu lebar. Tebing-tebing gunung menonjolkan batuan keras. Ada beberapa semburan air yang keluar dari balik batu, indah nian kelihatan.

RUTE KEDUA, perjalanan Malili menuju Palopo. Saya melewati kampung adat Cerekang. Desa Cerekang berada di jalan poros utama provinsi yang menghubungkan dengan Malili, ibukota Kabupaten Luwu Timur. Aspalnya tidak sekuat jalan tambang yang dibuat perusahaan. Melainkan kelihatan lunak. Melajukan kendaraan pada saat aspal sedang basah atau diguyur hujan akan sangat licin. Roda kendaraan seakan berputar di tempat.

Setelah beberapa waktu, saya berjumpa dengan deretan pohon kelapa sawit di wilayah Tarengge. Wilayah ini merupakan percabangan menuju Kabupaten Sulawesi Tengah hingga menembus Sulawesi Utara. Di Tarengge, ada beberapa warung pinggir jalan yang tersedia. Menyediakan beberapa keperluan para pejalan, ada makanan ringan dan minuman dijual disana.

Melewati Tarengge, saya memasuki Kecamatan Wotu. Setelah meninggalkan Wotu, saya memasuki Kabupaten Luwu Utara. Beristirahat sejenak di Masamba, ibukota kabupaten. Saya meneguk kopi dekat budaran tugu Masamba Affair. Masamba adalah kota kecil yang ramah.

Dari Masamba, saya memasuki wilayah Sabbang dan Baebunta. Sabbang terkenal dengan jagung rebusnya. Berderet dekat sungai Rongkong – aliran sungai besar yang menghubungkannya dengan Toraja.

Setelah berjalan lagi sekitar 1,5 jam saya memasuki kota Palopo. Dari Palopo saya lanjutkan lagi perjalanan dengan jarak 60 KM ke Belopa. Total waktu yang saya perlukan sekitar 7 jam berkendara dari Sorowako ke Belopa.

Tuesday 24 September 2019

Remah Pengalaman saat berada di Towuti


Sore ini saya ingin menulis remah pengalaman saat mengunjungi Kecamatan Towuti, karena selain di Sorowako ada beberapa hal yang harus saya selesaikan di sana.

Banyak desa yang saya lalui, dimulai dari Lioka yang merupakan kampung yang dahulunya banyak dihuni Komunitas Padoe termasuk ada Wawondula. Desa selanjutnya adalah Asuli, Matompi, Timampu atau desa dimana terdapat pelabuhan penyeberangan Timampu dengan perahu atau kapal yang berlabuh disana.

Di sepanjang poros Asuli lalu tembus di Wawondula hingga ke timur terhampar perkebunan, hutan, alur sungai dan jalan-jalan masih dalam pengerjaan.

Saat lepas Wawondula, Danau Towuti yang mahsyur terlihat di sayap kanan jalan. Perjalanan ke timur serasa menyiksa sebab sebagian besar masih berupa tanah merah, sebagian berbatu dan bisa jadi akan merana berkelanjutan kalau hujan datang dalam jangka waktu yang lama. Untung pas saya datang tidak hujan hehe.....

Selain Timampu, ada Desa Pekaloa yang didiami warga keturunan Padoe dan Sorowako. Menyusul rumpun Desa Mahalona Raya yang terdiri dari Desa Tole, Kalosi, Libukan Mandiri, Buangin, Mahalona atau acap disebut Desa Lampesuwe atau desa yang berjuluk "alat peniup bara".

Lampesuwe konon disebut sebagai desa dengan sejarah kebudayaan tua yang masih dipertahankan. Menurut cerita banyak orang-orang dari desa yang dikenal mempunyai kesaktian. Saya nggak ingin mencoba ya.....

Di Mahalona, orang-orang dari berbagai kampung dan desa-desa lalu lalang keluar masuk hutan belantara demi hasil hutan.

Mahalona infonya tak hanya sebagai desa administratif, di sana terhampar pula beragam sumber daya. Salah satunya kerbau serta vegetasi-vegetasi ekonomi.

Konon kerbau Mahalona terkenal sebagai kerbau petarung. Selama ini kerbau-kerbau Mahalona adalah peserta tarung kerbau di Toraja, harganya bisa mencapai puluhan juta.

Nah selesai berputar-putar di Towuti seharian akhirnya saya kembali lagi ke Sorowako dengan wajah yang penuh debu.

Cukup dulu coretan sore ini ya, nanti akan saya sambung di perjalanan berikutnya.

Sorowako


Di Sorowako, malam itu tak ada cahaya bulan, tetapi di langit mencuat kilatan merah serupa bara api. “Inilah tempat dimana bisa menikmati sunset tengah malam,” kata teman saya.

Kami berada di kawasan pesisir Danau Matano, Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kala itu, sekitar pukul 20.00 WITA. Semburat langit merah menemani. Gelombang lembut menghantam kaki-kaki dermaga kayu lalu memercikkan air.

Sorowako, sebuah desa yang nama nya cukup populer karena terdapat tambang Nikel yang konon terbesar di dunia. Dan juga danau yang terdalam se asia tenggara.

Sebelum mineral nikel dikelola oleh perusahaan tambang. Sorowako adalah wilayah terpencil. Jalan berangkal batu atau tanah merah lengket. Kesohoran wilayah ini tercatat dalam mitologi I La Galigo sebagai penghasil bijih besi kuat dan berpamor dengan urat besi khas. Wilayah ini masuk kekuasan kerajaan Luwu.

Sebuah pengalaman yang luar biasa saya bisa berkunjung dan tinggal bersama masyarakat Sorowako untuk beberapa hari.

Monday 23 September 2019

Palopo dan Sejarah singkatnya


Ada yang bilang bahwa sebuah kota tanpa sejarah adalah kota mati. Justru itu, rekonstruksi artefak-artefak dari masa lalu sangat berguna untuk mengetahui asal-usul suatu kota, termasuk potensi pengalaman dan cita pikiran masa lalu yang merepresentasikan jiwa dalam mendesain kota.


Kali ini, saya akan menceritakan sedikit tentang sejarah singkat Kota Palopo. Karena sudah ada disini nggak lengkap rasanya kalau nggak ada corat-coret nya walaupun singkat.

Jadi Kata “Palopo” ini diambil dari kata bahasa Bugis-Luwu. Artinya yang pertama adalah penganan yang terbuat dari ketan, gula merah, dan santan. Yang kedua berasal dari kata “Palopo’i”, yang artinya tancapkan atau masukkan. “Palopo’i” adalah ungkapan yang diucapkan pada saat pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Tua. Dan arti yang ketiga adalah mengatasi.


Palopo dipilih untuk dikembangkan menjadi ibu kota Kesultanan Luwu menggantikan Amassangan di Malangke setelah Islam diterima di Luwu pada abad XVII. Perpindahan ibu kota tersebut diyakini berawal dari perang saudara yang melibatkan dua putera mahkota saat itu. Perang ini dikenal dengan Perang Utara-Selatan. Setelah terjadinya perdamaian, maka ibu kota dipindahkan ke daerah di antara wilayah utara dan selatan Kesultanan Luwu.

Kota dilengkapi dengan alun-alun di depan istana dan dibuka pula pasar sebagai pusat ekonomi masyarakat.


Pada konteks awal perkembangan Palopo, batas kota diyakini berada melingkar antara makam Jera’ Surutanga di selatan, makam Malimongan di sisi barat dan makam raja Lokkoe di utara Sungai Boting.

Perkembangan Palopo kemudian dilanjutkan dengan tumbuhnya Kampung Benturu sebagai kluster tingkat ketiga seluas 5 ha. Pemukiman Benturu kala itu dilingkungi benteng pertahanan yang terbuat dari tanah menyerupai parit. Tinggi rata-rata dinding benteng 2 meter dan lebar rata-rata 7 meter. Panjang benteng tidak kurang 5 kilometer menghadap pantai.

Benteng ini disebut Benteng Tompotikka yang bermakna “tempat matahari terbit”. Lokasi benteng ini diyakini berada di sekitar Kompleks Perumahan Beringin Jaya.

Berkunjung ke Istana Datu Luwu di Palopo


Suana lengang yang saya temui ketika memasuki komplek Istana Datu Luwu yang berada di Palopo. Terdapat 3 bangunan utama yaitu bangunan permanen dengan arsitektur Eropa, Monumen Perjuangan Rakyat Luwu berupa patung tangan yang memegang badik terhunus ke langit dan Saoraja atau miniatur istana raja.


Dulu konon istana raja yang asli telah diratakan oleh Belanda dan dibangunkan lagi sebuah bangunan untuk istana dengan arsitektur bergaya eropa yang dimaksudkan untuk mengambil hati Penguasa Kerajaan Luwu tetapi oleh kebanyakan bangsawan Luwu dianggap sebagai cara untuk menghilangkan jejak sejarah Kerajaan Luwu sebagai Kerajaan yang dihormati dan disegani kerajaan-kerajaan lain di jazirah Sulawesi secara khusus dan Nusantara secara umum.


Istana Datu Luwu berada di tengah kota Palopo. Jadi tidak sulit untuk menemukannya karena letaknya berhadapan dengan kantor pos dan diseberangnya terdapat bangunan masjid yang konon usianya sangat tua.

Saya sempatkan mengambil beberapa dokumentasi saat berada di lokasi. Karena pintu istana tertutup jadi saya tidak bisa masuk ke dalam.







Sunday 22 September 2019

Sebuah Catatan dari Bumi Sawerigading


Terik matahari menyapa kedatangan saya di Bumi Sawerigading. Ini adalah kali pertama saya berkunjung ke Kabupaten Luwu. Sebuah kabupaten yang berlokasi di teluk bone.


Gerbang yang saya pilih adalah bandara Lagaligo Bua yang merupakan bandara ke-39 di Indonesia yang sudah saya singgahi.
Bandara ini terletak di kecamatan Bua atau sekitar 10 km dari Kota Palopo, Sulawesi Selatan, Indonesia.

Bagi saya perjalanan lebih dari sekedar berpindah tempat, lebih dari sekedar menghabiskan waktu untuk duduk di moda transportasi. Perjalanan telah menjadi caraku hidup dan menikmatinya selama kurang lebih 13 tahun terakhir ini.

Bagiku yang menarik dari sebuah perjalanan jauh adalah waktu senggang, yang belum tentu bisa kita dapat di kesempatan lain. Itulah kenapa aku selalu terdorong untuk melakukan perjalanan jauh, bukan karena senang melamun, tapi karena hadirnya kesempatan untuk berpikir dan berdistraksi tentang banyak hal.

Mulai dari hal kecil, misal membuat video perjalanan, menulis di blog, membagikan dokumentasi lokasi-lokasi indah di Indonesia.

Ah… waktu yang sungguh menyenangkan, tak harus terusik dengan pesan berantai perihal segala keharusan prosedural, tak lagi berdampingan dengan keinginan untuk memperhatikan semua individu yang ingin dipuaskan. Karena menjadi diri sendiri terkadang bisa memperoleh kepuasan tertinggi, tidak tertarik-tarik asumsi, tak terdorong tendensi, mencoba mengendapkan ambisi.

Melakoni sebuah perjalanan berarti sejenak memindahkan fokus pikiran kita ke hal-hal baru. Hal-hal yang membuat kita tak lagi berkutat pada suatu topik bahasan sirkular yang berputar-putar melulu.

Mencoba mundur menjauh untuk bisa melihat secara menyeluruh, hingga jalan yang dituju benar-benar bisa terlihat jelas. Mampu memulai konstruksi ulang untuk menghadirkan solusi-solusi jitu, tidak hanya sebatas menebak dan akhirnya trial dan error ujungnya. Bagi kita yang sudah mulai jengah dan kehabisan daya, menepilah dan beristirahatlah sejenak.


Monday 2 September 2019

Jembatan Batu Bacan

Dulu saya masih ingat saat booming batu cincin. Hampir pergi ke suatu daerah yang saya cari adalah batu, mau pergi ke mana saja oleh-oleh nya adalah batu, terdengar aneh memang, tapi itu real dan saya alami sendiri. Mungkin juga dialami oleh kawan-kawan juga.

Ada batu yang dulu sempat populer di kalangan penggila batu, namanya adalah batu bacan. Kebetulan saya juga pernah beli dengan harga yang cukup mahal untuk jenis ini pada waktu itu. Nah hari ini saya berkesempatan datang ke Pulau tersebut.

Dan ternyata disini ada jembatan yang ditengah nya dihiasi batu bacan. Keren ya....bisa dibayangkan dulu saat booming kira-kira berapa harganya batu-batu ini kalau di uang kan.

Saat saya datang kesini hampir semua orang yang lewat pandangannya lurus kedepan, kecuali saya...hehe....terkesan norak memang, ya karena saya baru tahu saat ini ada batu bacan yang dibuat jembatan. Menurut penuturan Abjan kawan saya, dulu batu-batu ini tidak sehijau sekarang, karena batu bacan jenis bebatuan yang hidup, warnanya berangsur menghijau seiring dengan gesekan para pejalan kaki yang melintasi jembatan ini.


Jembatan ini menghubungkan antara 2 perkampungan padat penduduk, yaitu Desa Amasing Kota dengan Desa Amasing Kota Utara di sisi satunya.

Menarik bukan....nah bagi yang ingin tahu dan penasaran, silahkan berkunjung ke Pulau Bacan.

Sunday 1 September 2019

Menjejakkan Kaki di Pulau Bacan


Setiap perjalanan tentu saja memiliki cerita menariknya tersendiri. Karena tugas yang harus saya selesaikan mengharuskan sore ini saya harus terbang lagi ke sebuah pulau yang cukup populer beberapa waktu yang lalu di Indonesia karena batu akik nya. Pulau itu bernama Pulau Bacan.

Beberapa kali melakukan travelling di pelosok negeri membuat saya semakin terpacu untuk menjelajah betapa luasnya Nusantara ini. Intinya bukan hanya mendapatkan kepuasan mata, melalui perjalanan ini saya mendapatkan banyak pelajaran hidup berharga.

Di pulau-pulau yang telah saya singgahi mengajarkan kepada saya bahwa hidup bukan hanya tentang ambisi dan pencapaian tetapi tentang kesederhanaan, kebersamaan dan berdampingan dengan alam.

Berlabuhnya Kapal Al Sudais 21 di Ternate


Tepat tanggal 01 September 2019 pukul 6.45 WIT Kapal Al Sudais 21 yang saya naiki berlabuh di Pelabuhan Ternate. Senang rasanya bisa merapat ke daratan kembali dengan selamat setelah 14 jam bertarung dengan ketahanan badan saya dalam menahan rasa mual karena ombak yang lumayan tinggi.


14 Jam berada di kapal Al Sudais 21 memberikan banyak pengalaman bagi saya yang notabene sejak kecil tinggal di daratan. Karena ternyata saudara-saudara kita di kepulauan menaiki kapal dengan durasi seperti ini sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan ada anak kecil yang usianya hampir sama dengan anak saya dia sudah berani dan terbiasa mengarungi lautan seperti ini.

Namanya Rian dia adalah siswa SMP yang dikirim oleh Pemerintah Daerah  Kabupaten Pulau Taliabu untuk mengikuti pelatihan bola mewakili daerahnya di level Propinsi. Dia berlayar selama 2 hari dari Taliabu ke Ternate. Bagi dia hal ini adalah sesuatu yang biasa dia lakukan sebagai anak kepulauan.

Rasa persaudaraan dan keakraban sesama penumpang bisa terlihat disini. Malam pun berlalu dan saya mulai terlelap dalam gelapnya malam sampai terdengar suara ABK mengumumkan bahwa kapal sudah mulai merapat ke Pelabuhan.

Setelah sampai di terminal penumpang saya memesan taxi untuk pergi ke hotel. Walaupun hanya sebentar singgah di Ternate, akan saya optimalkan untuk beristirahat, karena sore ini saya harus melanjutkan perjalanan lagi ke salah satu pulau yang cukup populer beberapa waktu yang lalu di Indonesia.