Friday 29 January 2016

Cerita Legenda Asal-usul Gunung Kelud Kediri




Di beberapa tahun terakhir ini kita sepertinya banyak disuguhi tontonan dan film yang ceritanya dari luar negeri, bahkan anak-anak kecil sekarang lebih mengenal cerita mitos dari Yunani seperti Dewa Zeus, Kuda Troya, Pegasus dan Spinx ketimbang Legenda asal usul Gunung Kelud. Kalau menurut saya, hal ini merupakan fenomena yang harus kita sikapi sebagai orang tua agar lebih mengenalkan anak-anak kita akan budaya tanah air yang berangsur-ansur mulai terkikis oleh peradaban barat.

Cerita mitos yang berasal dari luar negeri pada umumnya telah mengalami perubahan dan pengolahan lebih lanjut, sehingga tidak terasa asing lagi. Sementara Cerita dari tanah air biasanya masih orisinal dan sifatnya hanya penuturan dari mulut ke mulut.

Gunung Kelud pun tidak lepas dari cerita mitos tersebut, sebenarnya ada beragam versi mengenai asal usul legenda Gunung Kelud, tetapi inti ceritanya sama.

Nah saat ini saya ingin menulis ulang tentang asal usul Gunung Kelud yang saya sadur dari berbagai sumber, siapa tau kelak berguna bagi kita para orang tua, untuk dijadikan bahan bercerita kepada anak-anak kita saat menjelang tidur. Ya...minimal kita mengenalkan kepada mereka bahwa bangsa kita ini sebenarnya kaya akan kisah yang menarik untuk diceritakan. 


Sudah mulai penasaran...yuk kita simak kisahnya :
Konon Gunung Kelud terbentuk dari sebuah pengkhianatan cinta seorang putri bernama Dewi Kilisuci terhadap dua Raja Sakti Mahesa Suro dan Lembu Suro. Kala itu, Dewi Kilisuci anak putri Jenggolo Manik yang terkenal akan kecantikannya dilamar dua orang raja. Namun yang melamar bukan dari bangsa manusia, karena yang satu berkepala lembu bernama Raja Lembu Suro dan yang satunya lagi berkepala kerbau bernama Mahesa Suro. Untuk menolak lamaran tersebut, Dewi Kilisuci membuat sayembara yang tidak mungkin dikerjakan oleh manusia biasa, yaitu membuat dua sumur di atas puncak Gunung Kelud, yang satu harus berbau amis dan yang satunya harus berbau wangi serta harus selesai dalam satu malam atau sampai ayam berkokok.

Akhirnya dengan kesaktian Mahesa Suro dan Lembu Suro, sayembara tersebut disanggupi. Setelah berkerja semalaman, kedua-duanya menang dalam sayembara. Tetapi Dewi Kilisuci masih belum mau diperistri. Kemudian Dewi Kilisuci mengajukan satu permintaan lagi. Yakni kedua raja tersebut harus membuktikan dahulu bahwa kedua sumur tersebut benar benar berbau wangi dan amis dengan cara mereka berdua harus masuk ke dalam sumur. Terpedaya oleh rayuan tersebut, keduanya pun masuk ke dalam sumur yang sangat dalam tersebut. Begitu mereka sudah berada di dalam sumur, lalu Dewi Kilisuci memerintahkan prajurit Jenggala untuk menimbun keduanya dengan batu. Maka matilah Mahesa Suro dan Lembu Suro. Tetapi sebelum mati Lembu Suro sempat bersumpah dengan mengatakan: “Yoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung  dadi kedung. (Ya, orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri akan jadi sungai, Blitar  jadi daratan dan Tulungagung jadi danau).

Begitu mendengar hal tersebut Dewi Kilisuci merasa  bersalah. Mengapa hanya karena perbuatannya, rakyatnya  juga harus menanggung akibatnya ? ( Dewi Kilisuci adalah seorang putri yang sangat mencintai rakyatnya dan begitu juga sebaliknya ). Untuk mengurangi rasa bersalahnya, akhirnya Dewi Kilisuci mengasingkan diri  untuk memohon ampun dan meminta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa. Selain itu juga untuk memohon keselamatan rakyatnya dan menangkal dendam Lembu Suro dengan bertapa di pertapan Gunung Pegat, Srengat, Blitar. Sedangkan Lembu Suro menurut kepercayaan sebagian masyarakat Kediri dan sekitarnya sampai sekarang masih menjadi Penguasa "Gaib" Gunung Kelud.


Dari legenda tersebut akhirnya masyarakat lereng Gunung Kelud melakukan sesaji sebagai tolak balak sumpah Lembu Suro yang disebut Larung Sesaji. Acara ini digelar setahun sekali pada tanggal 23 bulan suro oleh masyakat Sugih Waras.

Nah kurang lebih seperti itu ceritanya saudara !!
 
 
 
 



Saturday 23 January 2016

Cagar Budaya Situs Candi Arimbi



Setelah Membaca sejarah The Great Majapahit ingin rasanya saya menulis tentang sebuah candi yang konon merupakan pintu gerbang kerajaan Majapahit sebelah selatan. Candi tersebut bernama Candi Arimbi. Berlokasi di Dusun Ngrimbi, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, candi ini masih kokoh berdiri  meski belum pernah ada pemugaran. Seluruh bangunan candi terbuat dari batu andesit.
Candi Rimbi merupakan candi Syiwa, diduga candi ini dibangun pada pertengahan abad ke-14, sebagai penghormatan kepada Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani yang memerintah Majapahit pada tahun 1329-1350. Dugaan ini didasarkan pada ditemukannya dua buah arca Dewi Parwati, yang diperkirakan merupakan pencerminan Dewi Tribhuwana. Kedua arca tersebut saat ini tersimpan di Museum Trowulan dan Museum Nasional.

Nama Arimbi sendiri merupakan nama salah satu tokoh pewayangan Mahabarata yakni Dewi Arimbi yang merupakan istri dari Prabu Bima Sena atau Werkodoro, salah satu Pendawa Lima. Konon, Dewi Arimbi yang merupakan adik dari Raja Raksasa Prabu Arimbo ini dimakamkan di salah satu tempat di  dusun tersebut, sehingga nama dusun ini dinamakan sebagai Dusun Ngrimbi.

Sumber lain menyebutkan bahwa candi tersebut merupakan petilasan tempat peristirahatan anggota kerajaan Majapahit. Pendapat tersebut bisa jadi benar sebab, suasana yang sejuk di tempat tersebut memberikan kenyamanan bagi anggota kerajaan ketika berada di lerang Gunung Anjasmoro.