Friday 30 November 2018

Keunikan Pasar Tomohon


Diantara banyaknya tempat menarik yang ada di Kota Tomohon, ada satu nama pasar yang terselip. Pasar ini telah mendunia, namanya Pasar Tomohon, pasar penjual segala macam daging. Atau kalau saya boleh menyebutnya sebagai pasar ekstrim.

Saat baru tiba di bagian depan Pasar Tomohon, Sulawesi Utara, sekilas tidak ada yang luar biasa dan sama seperti pasar-pasar tradisional lainnya. Layaknya pasar tradisional, pasar ini menjual berbagai macam kebutuhan sehari-sehari seperti pakaian dan kebutuhan lainnya. Namun beranjak ke bagian belakang, tepatnya di area penjual daging, Satu persatu informasi mulai terungkap.

Daging yang tidak umum untuk dikonsumsi menjadi sajian utamanya. Mulai dari tikus, anjing, ular piton, kelelawar dan babi terpapar di meja-meja para penjual daging. Satu yang menarik, kadang ada anjing yang masih hidup juga dijual di sini.
Fenomena inilah yang membuat Pasar Tomohon berbeda dengan pasar-pasar tradisional di nusantara. Bahkan nama Pasar Tomohon membuat wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Sulawesi Utara penasaran dengan keunikannya.
Tubuh anjing bewarna gelap, tubuhnya terpotong menjadi hal umum di Pasar Tomohon. Beda lagi dengan penjual babi, kepala utuh hewan gemuk ini terpajang dengan sisa-sisa darah yang masih menempel di meja pemotongan. Mau jenis babi ternak maupun babi hutan, keduanya dapat diperoleh di pasar yang bernama lengkap Pasar Beriman Tomohon ini.

Jika daging anjing ataupun babi masih juga umum, bagaimana dengan daging kelelawar dan tikus, lengkap dengan kepalanya. Wajah kelelawar yang menyeramkan pasti bisa membuat wajah Anda sedikit mengerutkan dahi melihatnya. Tikus yang dijual di sini juga bukanlah tikus yang hidup dalam gorong-gorong namun tikus hutan yang memiliki ciri ekor bewarna putih.

Beragamnya daging yang diperjualbelikan di Pasar Tomohon tidak lepas dari Suku Minahasa yang merupakan masyarakat asli Sulawesi Utara. Masyarakat di sini memang dikenal dengan pemakan segala jenis daging hewan. Selama daging itu bisa diolah dan dimakan, maka masyarakat Minahasa akan mencoba untuk dimasukkan ke dalam perut. Begitulah istilah yang sering beredar di kalangan orang Minahasa.

Bagi anda yang berkesempatan ke Sulawesi Utara, ada baiknya berkunjung ke Pasar Tomohon ini.




Sunday 25 November 2018

Menjejakkan kaki di Pulau Kakara untuk melihat Rumah Adat Hibualamo


Melihat judul tulisan diatas mungkin ada yang bertanya, apa sih istimewanya rumah adat tersebut sehingga harus menyeberang ke pulau Kakara.

Ya jawabannya sih karena rasa penasaran dan keingin tahuan yang besar sehingga mendorong saya untuk bisa kesana.
Rumah adat Hibualamo merupakan rumah adat yang berasal dari Halmahera Utara, Maluku Utara. Jadi sangat disayangkan sudah di Halut tapi tidak tau bentuk rumah adatnya.

Menurut bahasa asli setempat Hibua berarti Rumah sedangkan Lamo berarti Besar sehingga Hibualamo memiliki pengertian rumah yang besar.

Rumah adat Hibualamo baru diresmikan pada bulan April 2007, namun sebenarnya rumah adat Hibualamo ini sudah didirikan semenjak 600 tahun yang lalu. Hilangnya keberadaan rumah adat ini akibat adanya penjajahan, kemudian didirikannya Balai Desa sebagai tempat penyelesaian masalah dan pemerintahan.

Rumah adat Hibualamo didirikan kembali sebagai symbol perdamaian pasca konflik SARA pada tahun 1999 – 2001. Oleh karena itu pembangunannya pun mengalami perkembangan dibandingkan bentuk aslinya yang berupa rumah panggung. Bentuk asli rumah adat ini berada di Pulau Kakara, Halmahera Utara dan biasa disebut Rumah adat Hibualamo Tobelo.

Bangunan rumah adat Hibualamo dibangun dengan banyak symbol yang memiliki arti tersendiri yang berhubungan dengan persatuan. Konstruksi rumah adat menyerupai perahu yang mencerminkan kehidupan kemaritiman suku Tobelo dan Galela yang ada di pesisir. Bangunannya memiliki bentuk segi 8 dan memiliki 4 pintu masuk yang  menunjukkan simbol empat arah mata angin dan semua orang yang berada didalam rumah adat saling duduk berhadapan yang menunjukkan kesetaraan dan kesatuan.

Pada rumah adat Hibualamo terdapat 4 warna utama yang masing – masing memiliki arti. Warna merah mencerminkan kegigihan perjuangan komunitas Canga, warna kuning mencerminkan kecerdasan, kemegahan dan kekayaan. Warna hitam mencerminkan solidaritas dan warna putih mencerminkan kesucian.

Namun beribu sayang, begitu saya sampai di Pulau Kakara, Rumah adat Hibualamo sudah tidak sama dengan bentuk aslinya. Entah rusak karena alam atau campur tangan manusia. Tapi yang jelas keadaannya saat ini sangat mengenaskan.

Besar harapan saya agar pemerintah beserta masyarakat setempat ikut menjaga dan melestarikan kebudayaan ini, agar anak cucu kita kelak bisa menikmatinya.






Saturday 24 November 2018

Morotai dan Potensinya yang Luar Biasa


Sebuah perjalanan bagi saya selalu mempunyai makna didalamnya yaitu mengajarkan saya untuk selalu berproses agar lebih terbuka dalam melihat sesuatu dan mampu menerima hal baru.

Seperti halnya perjalanan ke Morotai kali ini. Saya banyak melihat hal baru, baik dari sisi budaya, adat istiadat, ekonomi, keindahan alam dan juga sejarah perjalanan pulau ini hingga sekarang.

Sudah puluhan rumah saya datangi saat di Morotai dan bertemu juga dengan puluhan tuan rumahnya. Rata-rata keluhan mereka sama yaitu tentang kesulitan ekonomi yang dialami akhir-akhir ini. Saya justru ingin melihat Pulau Morotai dari sisi yang berbeda dimana memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan untuk dijadikan destinasi wisata yang ujungnya bisa meningkatkan perekonomian masyarakat.

Dengan memanfaatkan potesi yang dimiliki saya yakin akan ada banyak wisatawan tertarik untuk mengunjungi Pulau Morotai.

Memang untuk mewujudkan sesuatu yang luar biasa dibutuhkan efford yang luar biasa pula. Peran pemerintah yang besar terkait hal ini sangat diperlukan selain masyarakatnya yang juga harus pro aktif ikut mendukung program pariwisata disana.

Saya pernah membaca di salah satu majalah bahwa industry pariwisata terbukti antikrisis global.

Saat perekonomian global terpuruk, bisa jadi pertumbuhan pariwisata bisa tetap terjaga jika kita melihat hal tersebut menjadi sebuah peluang dan tetap optimis untuk mengembangkannya.


#LandmarkMomojiuMorotai

Thursday 22 November 2018

Melihat Ketenangan Samudera Pasifik

"Air beriak tanda tak dalam, Air tenang menghanyutkan". Mungkin istilah itu yang paling pas untuk menggambarkan Samudera Pasifik secara denotasi.

Karena kedalaman pasifik mengakibatkan kondisi airnya sangat tenang, tapi bisa jadi dibalik ketenangannya, arus yang ada didalam sangat besar.

Pasifik berasal dari bahasa spanyol Pacifico yang artinya tenang.

Pasifik merupakan kawasan kumpulan air terbesar di dunia, luasnya mencakup kira-kira sepertiga permukaan Bumi.

#VisitMorotai

Wednesday 21 November 2018

Patung Teruo Nakamura di Morotai

Berhenti disini dulu mas....kata kawan saya, kalau ke Morotai tidak foto dipatung ini belum sah. Haha....okey kita foto dulu, ngomong-ngomong ini patung siapa mas ? Tanya saya. Ini adalah Patung Teruo Nakamura yaitu seorang prajurit Jepang yang ternyata sebenarnya seseorang yang berkebangsaan Taiwan.

Dia termasuk di antara 1000 prajurit Jepang yang ditempatkan di Morotai pada tahun 1943 tetapi kemudian ketika Sekutu dapat mengalahkan Jepang dan menduduki Morotai, dia kabur dan bersembunyi di hutan Morotai sampai bertahun2 lamanya.

Sempat dinyatakan meninggal pada tahun 1945. Tetapi kemudian pada tahun 1974 seorang penduduk Morotai melaporkan bahwa ada seorang prajurit Jepang tua yang hidup sendirian di hutan. Ternyata selama ini ia bertahan hidup dalam keadaan sehat dengan berburu dan juga kabarnya dibantu juga suplai makanan oleh salah satu penduduk setempat selama bertahun-tahun.

Ketika dijemput oleh pihak Jepang pada tahun 1974, ia bilang ia selama ini menyangka Morotai masih dikuasai Sekutu. Karena itu ia sempat ketakutan ketika dijemput. Beliau akhirnya dipulangkan ke jepang, lalu taiwan dan akhirnya meninggal di taiwan tahun 1979.

So begitulah ceritanya.....





Tuesday 20 November 2018

Situs Tank Amfibi di Morotai

Berkunjung ke Morotai tanpa mengunjungi wisata sejarahnya serasa ada yang kurang. Morotai adalah pulau ditepian Laut Pasifik yang menyimpan sejuta misteri dan histori. Pulau yang menjadi basis pertahanan tentara Jepang maupun Sekutu kala perang dunia ke-2 antara tahun 1942 hingga 1944 ini, menyimpan  sejarah yang mengubah masa depan dunia kala itu.

Pulau Morotai dijadikan pangkalan Sekutu dalam mengalahkan Jepang di Perang Pasific melalui Pilipina dan pengeboman Nagashaki dan Hiroshima.

Dan salah satu bukti nya yaitu adanya tank amfibi peninggalan perang dunia 2 yang berada di Desa Gotalamo, Morotai Selatan, konon tank amfibi Sekutu ini tamat riwayatnya setelah dibom pasukan Jepang.
 



Catatan Perjalanan ke Morotai

Sudah puluhan kali melakukan perjalanan ke berbagai pulau di Nusantara, namun penyeberangan ke Pulau Morotai kali ini tetap membuat saya merasa cemas. Ya mungkin hal ini terjadi karena saya terlalu terbawa oleh pikiran negatif saya sendiri.

Ceritanya begini, sore hari H-1 sebelum keberangkatan telah terjadi hujan disertai angin di Tobelo. Obrolan bersama kawan sore itu membahas potensi akan adanya ombak besar saat naik kapal speed ketika melintasi lautan. Alternatif lainnya yaitu naik kapal feri, tapi info yang saya terima bahwa kapal feri yang biasa dipakai juga telah tenggelam.

Nah hal ini terbawa terus sampai saya berangkat tidur. Pagi hari pukul 04.00 WIT saya sudah bangun. Saat berangkat mandi. Mulailah rasa mual saya rasakan. Saya faham kalau badan mulai bereaksi atas sesuatu yang saya fikirkan secara berlebihan sejak sore hari kemarin.

Namun karena ini adalah tugas yang harus saya selesaikan. Perlahan mulai saya rubah fikiran negatif tersebut menjadi sesuatu yang menyenangkan. Saya berfikir bahwa perjalanan ke Morotai adalah perjalanan yang sangat menyenangkan dan saya yakin tidak akan terjadi apa-apa saat melintasi lautan.

Setelah menunggu 1 jam di pelabuhan Tobelo. Kapal speed pun berangkat menuju Morotai. Goyangan demi goyangan ombak saya rasakan saat berada di atas kapal speed kurang lebih selama 1.5 jam. Dan puji syukur akhirnya saya dapat berlabuh di pelabuhan Daruba Morotai dengan selamat. Morotai menjadi pulau ke-51 di Nusantara yang sudah saya kunjungi.




Sunday 18 November 2018

Obrolan tentang Suku Togutil

Berkenalan dengan seseorang adalah sesuatu yang biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun kita mampu berinteraksi dengan baik, untuk menemukan bahan pembicaraan terkadang terasa sulit sehingga membuat kita bertanya-tanya topik apa yang paling pas untuk dibahas.

Nah begitu juga saat saya kenal dengan salah seorang driver yang mengantarkan saya dari Kuabang Kao ke Tobelo. Karena perjalanan memakan waktu kurang lebih 1,5 jam pasti akan membosankan jika tidak kami isi dengan obrolan yang menarik.

Bahasan sekitar budaya, suku, alam dll akan selalu menarik buat saya. Dan obrolan ini saya coba mulai dengan pertanyaan mengenai Suku Togutil, yaitu suku yang mendiami pedalaman Halmahera kepada Pak Doni (nama driver yang mengantar kami sesuai dengan tanda pengenalnya). Nah ternyata beliau cukup antusias untuk menjelaskannya. Dan bermula dari situ obrolan kami menjadi menarik sampai 1,5 jam kedepan.

Ceritanya seperti ini :

Bapak tau suku togutil ? iya saya tau, suku togutil adalah salah satu suku yang mendiami daratan halmahera. Hal yang menarik dari suku Togutil adalah tentang asal usulnya. Konon pada awalnya ada sekelompok pasukan Portugis yang menyerang wilayah Halmahera, menyerang berbagai wilayah, terlibat peperangan dengan penduduk setempat termasuk berperang dengan pasukan Korakora dari Kesultanan Ternate, dan juga berperang dengan pasukan Alifuru.

Setelah berperang, mereka akhirnya kehabisan amunisi dan kapal mereka juga telah karam. Sehingga mereka tidak dapat kembali ke negaranya, yang mana pada akhirnya mereka pun membuat sebuah pemukiman di salah satu tempat di Halmahera Utara. Mereka bermukim di daerah Gunung Hum dan kemudian menamakan daerah tersebut Rum yang berarti bahwa daerah itu adalah tempat tinggal orang-orang yang berasal dari Rumawi.

Tetapi mereka tidak bisa hidup tenang, karena orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian memilih hijrah ke daerah Tobelo, membuat pemukiman baru di daerah perbukitan Karianga.

Perpindahan ini mempertemukan mereka dengan sesama bangsanya yang mengalami nasib sama di sekitar Pasir Putih yang kapalnya karam. Untuk menghilangkan jejak sebagai orang Portugis, sebagian dari mereka menyatu dengan masyarakat setempat serta mempelajari bahasa Tobelo sambil merobah aksen bahasa asli mereka.

Mereka kemudian hidup bergaul dengan orang Tobelo dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Selain itu mereka juga melakukan kawin-campur dengan penduduk setempat. Upaya ini dilakukan untuk menghindari kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang Portugis di Maluku Utara yang lari ke hutan.

Selanjutnya keturunan orang-orang Portugis yang telah kawin campur dengan penduduk setempat ini, hidup dengan cara berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap mengembangkan keturunannya.

Setelah sekian lama mereka hidup di pedalaman Halmahera ini, terbentuklah suatu komunitas yang disebut sebagai suku Togutil, yang berasal dari orang-orang Portugis yang telah kawin-campur dengan suku-suku setempat.



Pantai Kupa-kupa Halmahera

Kali ini pembahasan kita masih seputaran wisata di Halmahera Utara. Dan pilihannya adalah pantai karena pantai merupakan tempat yang cocok untuk melepaskan penat dari kegiatan sehari-hari. Selain sebagai tempat untuk bersantai, di pantai juga dapat diadakan berbagai macam kegiatan, seperti berjemur, bermain pasir, berenang dan sebagainya.

Pantai Kupa-kupa adalah salah satu pantai yang cocok sebagai tempat untuk melakukan berbagai kegiatan di atas. Pantai Kupa-kupa terletak di Desa Kupa-kupa, Halmahera, Maluku Utara. Lokasinya tak jauh dari Tobelo.

Pantai Kupa-kupa memiliki ciri-ciri khas yang begitu alami, jika dibandingkan dengan obyek wisata pantai lainnya. Keberadaan arus yang tenang yang juga dikerumuni dengan banyaknya pohon-pohon beringin yang tumbuh dipesisir pantai. Dapat menjadikan pantai ini begitu sangat rindang.

Sayang saat kami datang kesana sepi sekali pengunjung. Bisa dikatakan hanya kami berdua saja yang datang kesana.

Tapi tidak menjadi soal, yang penting kita nikmati saja ketenangan suasananya.










Saturday 17 November 2018

Falsafah yang luar biasa dari Manado

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Manado melalui bandar udara Sam Ratulangi, saya menjumpai tulisan, “Si Tou Timou Tumou Tou”. Saya yakin tulisan tersebut dipasang disitu bukan tanpa arti. Apalagi ditulis besar di Bandara.

Setelah melakukan searching barulah saya mengetahui artinya bahwa "Manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia".

Terhenyak rasanya saat mengetahui terjemahan kalimat itu. Saya jadi bertanya pada diri sendiri, "Sudah bisa disebut manusiakah saya?". Untuk menjawab pertanyaan itu yang pertama harus dilakukan adalah memahaminya terlebih dahulu.

Konon kalimat filosofi di atas dicetuskan oleh Sam Ratulangi. Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir di Tondano, Sulawesi Utara. Semasa hidupnya aktif dan dikenal sebagai politisi, jurnalis dan pengajar.

Kembali ke falsafah tadi. Agak berat bagi saya untuk menginterpretasikannya. Jika merunut pada latar belakang dan sejarah empunya semboyan, mungkin bisa diartikan secara sempit bergiat dalam bidang pendidikan dan politik.

Tapi tentu saja tidak hanya demikian. Jika ya, berarti cuma pengajar dan politisi yang bisa disebut "manusia".

Masing-masing dari kita punya peran dalam hidup sebagai makhluk sosial. Setiap individu harus tahu perannya dan menjadikan dirinya berguna bagi individu lain. Seperti itulah pemahaman saya terhadap "Si tou timou tumou Tou".

Peran saya saat ini adalah sebagai penebar informasi tentang keindahan Indonesia. Kecil memang, tapi setidaknya sesuatu. Semoga apa yang saya lakukan berguna bagi banyak manusia.

Perjalanan ke Pulau Kumo

Berada di Halmahera Utara rasanya ada yang kurang jika tidak mengunjungi pulau-pulau disekitarnya. Pagi ini kami melakukan perjalanan menuju sebuah pulau kecil yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan Tobelo.

Pulau tersebut bernama pulau Kumo. Banyak yang bilang jika dihari libur warga Tobelo menjadikan Pulau ini sebagai tujuan wisatanya.

Cuaca yang mendukung dengan langit biru serta laut yang tenang, membuat suasana menjadi sangat pas. Tak sampai 30 menit meninggalkan Tobelo, kami sudah tiba di pulau tersebut, kapal pun berlabuh.

Dihadapan kami adalah pulau kumo. Air jernih tampak begitu menggoda. Bergegaslah kami turun dari kapal dan langsung mencari spot-spot yang menawan.









Monday 12 November 2018

Kampung Adat Prai Ijing Sumba Barat

Pulau Sumba adalah destinasi impian para pelancong dari dalam maupun luar negeri. Tidak hanya alamnya yang cantik, budaya di sana masih sangat kental dan menjadi daya tarik tersendiri. Pulau ini memiliki kampung-kampung adat yang bisa kita kunjungi. Salah satu kampung adatnya yaitu Prai Ijing yang berlokasi di Waikabubak, Sumba Barat.


Ketika memasuki perkampungan ini, seolah kita kembali ke jaman megalitikum, makam-makam besar berada di sejumlah titik, atap-atap ilalang seolah menyapa langit dan budaya masyarakat yang kental akan kita rasakan.








Permandian Topa Mandati di Pulau Wangi-wangi



Di pulau Wangi-wangi banyak menyimpan obyek wisata pemandian alami, beberapa telaga gua tersebar di beberapa tempat, salah satunya adalah Telaga Goa Topa yang berada di kelurahan Mandati. Air di telaga ini sangat jernih dan bersih. Kesan yang saya tangkap pertama kali saat mengunjungi obyek wisata ini adalah ada rumah diatas goa. Pemandangan yang cukup unik memang, dan pastinya hal ini tidak ada di tempat saya di Sidoarjo.