Tuesday 17 December 2019

Balada Tugas di Indonesia Timur


Hampir 1,5 bulan ini saya berkeliling di wilayah Indonesia Timur, setidaknya ada 12 Pulau yang yang saya singgahi secara estafet, antara lain :

Pulau Sulawesi
Pulau Buton
Pulau Muna
Pulau Wangi-wangi
Pulau Ternate
Pulau Tidore
Pulau Halmahera
Pulau Morotai
Pulau Bacan
Pulau Sula
Pulau Ambon
Pulau Buru

Tentunya banyak pelajaran, pengalaman serta hal-hal baru saya alami selama perjalanan. Dan yang paling membuat saya beradaptasi adalah soal waktu.

Bagi kami yang bertugas di Indonesia timur serasa mempunyai waktu kerja lebih lama dibanding dengan rekan-rekan yang ada di Indonesia Barat. Memang kita ketahui bahwa Indonesia di bagi menjadi 3 zona waktu yaitu Waktu Indonesia Barat, Waktu Indonesia Tengah dan Waktu Indonesia Timur. Bagi kami di Indonesia Timur mempunyai selisih waktu 2 jam lebih cepat dibanding Indonesia Barat.

Kembali ke soal waktu kerja lebih lama, jadi begini ketika di Indonesia Timur pukul 08.00 kami sudah berada di Kantor dan melakukan aktivitas, sementara kawan-kawan di Indonesia Barat mungkin baru bangun dan lanjut mandi karena masih pukul 06.00 pagi, hehe....

Misal kita kirim laporan dan lain-lain ke teman-teman di Indonesia Barat, ya jelas belum ada yang baca. Saat di Indonesia Timur sudah jam 17.00 dan giliran waktunya kita pulang kerja, teman-teman di Indonesia Barat mungkin lagi semangat-semangat nya karena masih jam 15.00.

Dan kerap kali kami baru menerima respon email dan telepon saat kami sudah mandi dan pulang kerja. Jadi rasanya tidak lagi 8 jam kerja, bisa lebih.

Ya itu memang sebuah resiko dari adanya perbedaan waktu di Indonesia. Namun saya percaya bahwa segala sesuatu itu pasti ada sisi positifnya. Ya paling tidak kami di Indonesia Timur lebih awal melihat matahari dan tentunya aktifitas kami yang lebih dulu akan membawa dampak dalam segala hal...Aamiin....😊😊😊

Sunday 15 December 2019

Napak Tilas Sisi Gelap Bangsa Indonesia di Pulau Buru


Ibarat menyusuri sejarah kelam bangsa Indonesia, saya berkendara sejauh 45 KM dari kota Namlea menuju unit-unit yang ada di Pulau Buru. Ditemani terik matahari yang memancarkan sinar dengan dosis lebih dari biasanya.

Bukit-bukit gundul yang beraroma sangit karena terbakar bagian bawahnya, seolah menjadi perfum tersendiri yang bisa saya rasakan.

Kanan kiri tidak ada rumah, hanya semak belukar dan dahan kering berserakan disepanjang perjalanan.

Sampai kawan saya memberhentikan kendaraannya di Unit pertama atau yang saat ini diberi nama Desa Savana Jaya. Saya menemui seorang kawan yang lahir di Pulau Buru, namanya Lukman. Orang tua nya berasal dari Jawa Timur dan mengikuti program transmigrasi di tahun 70 an.

Saya dan teman saya disambut dengan hangat. Kami ngobrol santai bertiga di teras rumahnya. Dia menceritakan beberapa kondisi masa kecilnya di Pulau Buru. Obrolan kami berselancar ke mana-mana sampai hujan turun dengan derasnya.

Karena belum bisa meneruskan perjalanan saya pun menunggu sampai hujan reda. Tak lama kemudian langit sudah mulai cerah kembali. Dan kami melanjutkan perjalanan ke beberapa unit lainnya, antara lain Unit 14, Waitele, Waikerta, Wanareja, Wanakarta dan Mako.

Saat memasuki Desa Wanakarta, Kecamanatan Waeapo. Saya menjumpai sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila.


Saya berhenti sejenak untuk mengambil beberapa dokumentasi sambil menggali informasi dari rekan saya, siapa sebenarnya sosok yang ada di patung ini ?

Konon patung ini bukan hanya untuk menghormati Pelda Panita Umar, tetapi lebih dari itu, patung ini ternyata juga sebagai catatan hitam. Begitu jasad Panita ditemukan tewas dengan tangan terputus, maka tanpa penyelidikan, hari itu juga segera saja 12 orang tahanan politik penghuni barak Unit 5 diciduk.

Empat orang ditembak mati, sisanya berhasil melarikan diri,  tetapi empat orang kemudian juga ditemukan mati di Namlea. Sedang sisanya lagi yang empat orang,  berbulan-bulan kemudian baru ditangkap dan langsung dieksekusi.

Gugurnya Pelda Panita Umar menggetarkan sekitar 12 ribu tahanan politik yang menghuni 20 unit barak penampungan di Pulau Buru. Siapa pun bekas tapol yang saat ini masih hidup, pasti tergetar hatinya apabila ditanya tentang peristiwa itu. Karena perlakuan yang dialami oleh seluruh tapol akibat tewasnya Pelda Panita Umar dirasakan amat luar biasa. 

Sampai saat ini tidak pernah ada penyelidikan mendalam tentang kematian Pelda Panita Umar. Ia dinyatakan gugur saat menjalankan tugas, dan patungnya bisa dilihat oleh siapapun yang melintas di jalan raya penghubung  Kabupaten Buru dengan Kabupaten Buru Selatan.

Patung tersebut memang sengaja tidak diberi tangan dan kaki, yang mana sama dengan kondisi Pelda Panita saat ditemukan mayatnya dimana tangan dan kaki nya terpotong.


Wednesday 11 December 2019

Ngopimu Kurang Pait, Dolenmu kurang Adoh


Akhir-akhir ini sering kita jumpai tulisan "Ngopimu kurang pait, Dolanmu kurang adoh”, atau dalam bahasa Indonesia artinya "Minum kopi mu kurang pahit, Main mu kurang jauh", baik di kolom komen media sosial atau sekedar kiriman pesan pendek antar kawan.

Kalau saya boleh memaknai sebagian kata-katanya bahwa sebuah perjalanan jauh itu akan membawa dampak spiritual dan pendewasaan terhadap seseorang.

Kita bisa merunut bahwa mayoritas ahli hikmah, filosof dan ilmuwan baik dalam tradisi Islam, Asia dan Barat merupakan para "pejalan".

Mungkin teman-teman juga pernah menonton film seri Sun Go Kong yaitu tokoh utama novel perjalanan ke barat yang menemani biksu Tong  dalan perjalanannya mencari kitab suci. Di film tersebut juga dikisahkan bagaimana tokoh-tokoh tersebut berproses belajar dari sebuah perjalanan.

Meskipun jika kita cermati, dewasa ini ada perbedaan kentara kualitas dan makna "perjalanan" yang dimaksud terkait dengan kegiatan berpikirnya hati. Secara singkat, saya berani bilang modernitas adalah sebabnya.

Sebelum tiba masa modern, perjalanan dari Jawa ke luar Jawa misalnya, membutuhkan waktu berhari -hari hingga berbulan-bulan.

Waktu yang lama dalam menempuh waktu perjalanan tidak bisa tidak, dipenuhi oleh kegiatan berpikir dan perenungan. Merenungi hal-hal baru, melakukan diferensiasi, dan mengkontraskan fakta baru dengan fakta lama.

Sementara itu, masa modern meningkatkan efektivitas dan secara perlahan mengubah makna perjalanan menjadi semacam katarsis, tidak spirituil dan lebih semacam gaya hidup atau "main-main belaka".

Tidak heran jika orang yang hidupnya banyak melakukan perjalanan secara mandiri dengan jarak tempuh yang lama, memiliki kualitas pemahaman hidup dan kejiwaan yang sama sekali berbeda dengan yang tidak melaluinya.

Mungkin seperti itu lah makna tulisan “Ngopimu kurang pait, Dolanmu kurang adoh” menurut saya, hehe...

Dan kali ini saya ngopi pahit tanpa gula di Pulau Bacan dengan jarak 1.792 KM dari rumah saya di Sidoarjo, agar tau bahwa hidup ini tidak selamanya manis, saya pilih lokasinya lumayan jauh dari rumah agar saya bisa belajar dari proses perjalanannya yang jauh. Ahay.....😁




Sunday 8 December 2019

Kapal Tidak Jadi Berlayar dari Sanana ke Ternate


"Manusia hanya bisa berencana namun Tuhan yang menentukan", mungkin kalimat itu yang paling tepat atas kejadian yang menimpa saya hari ini.

Pagi pukul 07.00 WIT saya sudah bersiap untuk sarapan, mengemasi barang-barang dan bersiap untuk check out dari hotel tempat saya menginap di Kota Sanana, Maluku Utara. Karena sore nanti saya akan berlayar menuju Ternate dan dilanjutkan dengan penerbangan ke Pulau Bacan.

Kapal Permata Obi yang secara jadwal akan berlabuh di Sanana diperkirakan tiba pukul 15.00 WIT. Pelayaran akan ditempuh dalam waktu 14 jam. Jadi sekitar pukul 06.00 WIT keesokan harinya kapal akan tiba di Ternate.

Pukul 10.00 WIT kawan saya pergi ke pelabuhan untuk membeli tiket, karena tiket tidak dijual online, namun harus datang langsung ke pelabuhan dan waktu belinya juga pas hari H keberangkatan.

Sekitar pukul 10.30 WIT kawan saya menelpon, "Kakak....jangan marah ya ! Kapal Permata Obi seng jadi datang, kata petugas kapal sedang diperbaiki di Ambon". Waduh, bagaimana dengan tiket pesawat ke Bacan yang sudah saya beli ya ? Akhirnya saya berusaha tenang, saya tarik nafas agar bisa berfikir jernih.

Saya pikir dipaksakan pun saya tidak akan tiba di Ternate hari Senin, karena memang tidak ada sarana transportasi apapun yang bisa saya pilih selain lewat jalur laut.

Saya coba menghubungi call center maskapai, saya jelaskan permasalahan yang saya alami. Dan mereka pun bisa melakukan perubahan jadwal pesawat saya ke bacan menjadi mundur satu hari, walaupun ada biaya yang harus dibayar.

Setelah urusan tiket selesai baru saya koordinasikan dengan hotel dan beberapa pihak terkait atas keterlambatan ini. Jadi saya harus tinggal satu hari lagi di Kota Sanana, Maluku Utara.

Wednesday 4 December 2019

Ekspedisi Pulau-pulau di Maluku


Mengawali Minggu 01 Desember 2019, saat saya terbangun dan menoleh ke arah jendela berbentuk agak oval, di bawah sana terhampar gumpalan awan strato cumulus laksana kapas mengapung di angkasa. Ingin rasanya saya menyentuh untuk merasakan sensasi kelembutan dan membasuhkannya ke mukaku yang terasa penat, karena nyaris semalaman tidak tidur.


Hanya sesekali mataku terpejam, namun tidak bisa merasakan tidur yang sesungguhnya, karena posisi kursi yang berada di belakang pintu darurat, tidak bisa digerakan ke belakang untuk mengatur posisi yang nyaman. Jadi selama empat jam penerbangan Surabaya menuju ke Ternate saya harus duduk dengan tegak seperti postur tubuh anggota militer, termasuk saat mataku mulai terpejam diliputi rasa kantuk dan lelah, karena telah menjalani hari demi hari dengan kegiatan yang sangat padat.

Selama kurang lebih satu bulan saya berada di Sulawesi Tenggara untuk menyelesaikan tugas dari kantor dan dilanjutkan dengan kunjungan ke Maluku.

Pukul 14.45 Waktu Indonesia Timur (WITA), awak pesawat yang saya tumpangi mengumumkan bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat, penumpang dimohon untuk memasang sabuk pengaman, melipat meja di bagian depan tempat duduk, dan menegakan sandaran kursi.

Saya tersenyum kecut, kerena sejak memulai penerbangan, sandaran kursiku sudah tegak pernamen dan menyiksaku selama empat jam. Ketika pesawat mulai menurunkan ketinggian, kemudian mengambil posisi miring dan memutar, dari balik jendela saya bisa melihat samar-samar 2 gunung tinggi yang saling berdekatan yaitu Gunung Gamalama dan Gunung Tidore.

Selama proses pendaratan pesawat, berkecamuk perasaan di dada, dalam rentang panjang pengalaman mendarat di berbagai wilayah baru, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Terselip perasaan syukur ternyata sampai dengan detik ini masih diberikan kesempatan merasakan nikmat sehat dan bisa mengunjungi tempat-tempat yang indah di Indonesia.

Dan kunjungan saya ke Maluku kali ini, pastinya akan seru dan menyenangkan. Karena saya akan berkeliling di hampir semua pulau di Maluku.

Monday 18 November 2019

Mencoba MRT Jakarta


Sekitar 6 tahun lalu tepatnya tahun 2013, saat berkunjung ke Singapura, saya begitu terkagum-kagum melihat moda transportasi yang disebut MRT di negeri tersebut. Sebuah sarana transportasi yang sangat efektif dan efisien.

Saya sempat mencobanya untuk bepergian ke beberapa tujuan, antara lain ke Marina Bay Station, Raffles Place Station dan Dhoby Ghaut Station. Gerbong digerakkan dengan kecepatan tinggi melaju di bawah tanah. Penumpang masuk ke lokasi tanpa dijaga petugas, semua menggunakan mesin.

Dan saat ini di Jakarta, di ibukota negeri kita, moda transportasi tersebut bisa kita nikmati. Luar biasa.....saya sempat mencobanya untuk pergi ke Stasiun Blok M dari Stasiun Bundaran HI. Dan ternyata sama dengan yang ada di Singapura, gerbong digerakkan dengan kecepatan tinggi dibawah tanah, masuk tanpa petugas dan semua menggunakan mesin.

Friday 15 November 2019

Danau Napabale Pulau Muna


"Selalu ada keindahan disetiap perjalanan, bagaimanapun beratnya medan yang ditempuh, selalu akan ada cerita menarik yang bisa dibagikan".

Siang yang panas menemani perjalanan saya menuju danau air asin yang ada di Muna. Dengan melewati jalan berdebu, aspal yang  berlobang dan medan yang sedikit berkelok seolah menjadi teman setia.

Napabale namanya, dinding-dinding karang berdiri tegak. Tetumbuhan hijau yang hidup di tubuh karang, melambai dan menyejukan mata dan jiwa saat saya tiba.

Danau berwarna hijau tosca. Gua-gua banyak bercerita tentang sejarah. Setiap sudutnya ada kisah. Itulah yang membuat saya terkagum-kagum.

Napabale namamu memang cantik, secantik parasmu.




Thursday 14 November 2019

Mampir di Gua Prasejarah Kabupaten Muna


Jika gambar hewan ini ada di dinding rumah saya, itu hal yang biasa karena si kecil suka corat-coret. Nah kalau ditemukan di dinding goa yang konon usianya sudah ribuan tahun itu baru luar biasa.

Kalau ingin melihat dengan jelas peninggalan Manusia Purba ini berada di Dusun II, Desa Liang Kobori Kabupaten Muna. Lokasi tepatnya di perbatasan Desa Bolo dan Desa Masalili, Kecamatan Lohio, kabupaten Muna. Gua ini berjarak sekitar 10 kilometer dari Kota Raha melalui jalan poros Raha-Mabolu.


Jalanan berdebu dengan aspal yang mengelupas adalah rute yang harus dilewati sejauh 2- 3 kilometer, namun keindahan alam akan menemani kita.

Liang Metanduno masih satu kawasan dengan beberapa gua yang lain, seperti Liang Kobori. Di dalam gua ini terdapat banyak lukisan pada dinding gua yang dibuat pada zaman prasejarah. Lukisan pada gua ini kebanyakan adalah lukisan hewan bertanduk. Hal itulah yang menyebabkan gua ini dinamakan Metanduno, karena "tandu" dalam bahasa muna berarti "tanduk".


Lukisan gua di Pulau Muna umumnya mempunyai warna coklat, dan dibuat dari tanah liat, darah hewan perburuan, dan getah kayu. Lukisan purba di sini didominasi oleh lukisan manusia yang digambarkan dalam berbagai sikap, seperti perkelahian menggunakan senjata, kegiatan perburuan, menari, menaiki kuda, hingga lukisan manusia yang sedang terbang.

Selain itu, lukisan gua di Muna juga menggambarkan cara hidup manusia di Muna yang ribuan tahun lalu bercocok tanam dan beternak. Lukisan yang berpola menyerupai binatang, pola matahari, dan geometris juga ditemukan di dalam gua Muna. Bahkan, ada juga lukisan perahu yang sedang dinaiki oleh manusia.

Konon gua ini ditemukan oleh masyarakat setempat pada tahun 1975. Di dalam gua juga terdapat cerukan batu yang terbentuk secara alami melalui tetesan air, dan akhirnya menjadi tempat penampungan air. Mungkin karena cerukan tersebut banyak terdapat burung walet di dalam gua.

Saat berada didalam goa saya merasakan hawa yang sejuk. Tapi ada juga ngeri-ngeri nya yaitu saat saya menemukan kulit ular. Wah bisa jadi di dalam gua ini juga dihuni binatang melata seperti ular dan sejenisnya.





Singgah di Kepulauan Wilayah Sulawesi Tenggara


Tulisan ini masih menyambung catatan saya tentang Ekspedisi Keliling Sulawesi Tenggara. Kalau sebelumnya hanya berputar-putar di daratan Sultra dengan jarak lebih dari 1000 KM. Kali ini agendanya menjelajahi kepulauan nya. Pulau pertama yang akan di singgahi adalah Buton. Dari Kendari saya memilih transportasi udara.

Penerbangan dijadwalkan pukul 07.20 WITA, ternyata pesawat ke Buton mengalami keterlambatan dan baru tiba di lokasi pukul 08.30 WITA dari jadwal yang seharusnya pukul 07.50 WITA.


Sesampainya di Pulau Buton saya langsung kejar tayang untuk mengunjungi beberapa titik yang sudah direncanakan. Memang agak terburu-bulu sih tapi bagaimana lagi pukul 13.00 WITA saya harus melanjutkan lagi perjalanan via laut menuju Kota Raha di Pulau Muna.

Perjalanan ke Raha di tempuh dalam waktu 2,5 jam dengan menggunakan Kapal Express Cantika 168. Dan jika dilihat dari rute nya hanya melalui selat, jadi tidak begitu terasa ombaknya. Beda dengan pelayaran-pelayaran sebelumnya yang harus melalui laut lepas, ombaknya begitu terasa.

Pukul 15.30 WITA kapal berlabuh di Raha. Karena sudah sore, saya putuskan untuk menginap disana. Agenda keesokan harinya adalah pergi ke beberapa titik di daratan Muna, antara lain Wamponiki, Lakupodo, Lakudo, Watulea dan Katobu. Jadi persiapan sejak pagi adalah keharusan.


Perjalanan darat dengan aspal yang berlubang pun dimulai. Jarak yang ditempuh lumayan jauh yaitu sekitar 150 KM. Sambil sesekali berhenti istirahat kami menikmati pemandangan yang ada.

Kata teman saya, "Bang... di Muna ini matahari sepertinya lebih dari 1. Panasnya luar biasa". Hehe....memang di Muna panas sekali.

Pukul 17.00 WITA kami tiba di Pelabuhan Waara. Dan saya kembali naik kapal menuju ke Baubau. Karena keesokan harinya ada pulau lagi yang harus disinggahi yaitu Wakatobi.

Ke Wakatobi ada 2 alternatif moda transportasi yang bisa saya pilih, laut atau udara. Mengingat jadwal yang padat saya pilih transportasi udara.

Saturday 9 November 2019

Ekspedisi Keliling Sulawesi Tenggara


Jika saya beri judul perjalanan yang saya lakukan kali ini "Ekspedisi Keliling Sulawesi Tenggara", mungkin tidak terlalu berlebihan. Bagaimana tidak, dalam 5 hari terakhir ini saja saya sudah melakukan  perjalanan via darat di Propinsi Sultra dengan jarak tempuh kurang lebih 1000 KM, sebagai perbandingan kalau di Jawa jarak Surabaya ke Jakarta hanya 718 KM. Artinya perjalanan yang saya lakukan memang benar-benar jauh dan menguras energi, belum lagi medan di Sultra sangat berbeda dengan tol lintas Jawa yang mulus. Disini aspal nya banyak lubangnya boss.

Mungkin diantara kawan-kawan ada yang bertanya, kok jauh amat ? Emang kemana aja ? Hehe....namanya juga bertanya, ya nggak apa- apa, coba saya buka google map dulu biar saya ukur. Jarak Kendari ke Wolo Kabupaten Kolaka itu 246 KM. Selesai urusan di Wolo saya kembali lagi ke Kendari melalui jalur Wawotobi di Kabupaten Konawe dengan jarak tempuh yang sama yaitu 246 KM, jadi total jaraknya 492 KM. Hari berikutnya saya lanjutkan memutar kembali untuk menuju ke Boepinang dari Kendari melalui jalur Tinanggea di Kabupaten Konawe Selatan dengan jarak tempuh 213 KM. Dan selesai urusan di Boepinang saya kembali lagi ke Kendari melalui jalur Bombana dengan jarak yang sama yaitu 213 KM. Jadi jika di total semua jaraknya sudah 918 KM. Belum lagi saat di lokasi harus mutar - mutar untuk menemukan tujuan yang akan saya kunjungi. Ya bisa jadi jika ditambahkan semua sudah lebih dari 1000 KM.


Memang ada hal yang harus saya selesaikan disini. Namun saya percaya sejauh apapun jarak yang kita tempuh, jika dilakukan dengan hati senang, pasti tidak akan terasa jauh.

Jika digambarkan lebih detail tentang perjalanan menuju tempat tujuan memang relatif sangat lengang, melewati kebun mete, coklat dan pohon kelapa, yang berjejer, bak menyambut kedatangan saya. *aslinya sih pohon kelapa memang suka berbaris rapi sistematis hehe. Laut lepas menghembuskan pasir, sesekali burung menari kegirangan.

Pemandangan lainnya, warga sibuk memanen kopra dan panen tambak udang, saling silang dalam mengisi perjalanan saya kali ini. Pun termasuk memasuki pertengahan perjalanan , ada sekumpulan kelelawar yang asyik bergelantung di pohon, pinggir pantai.

Jalan yang lumayan berkelok, terbayar lunas dengan pemandangan yang menakjubkan. Di kanan kiri jalan, material batu dan pasir mendominasi, selain itu juga ada rumput yang menyambut kedatangan saya kali ini. Foto-foto macam levitasi, foto ala-ala kadarnya hingga foto-foto tak jelas, sudah cukup menjawab dahaga syukur atas negeri indah ini, Indonesia.

Monday 4 November 2019

Mampir Di Puncak Mowewe


Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari Kota Kendari ke arah Kolaka akhirnya saya tiba di dataran tinggi yang cukup representatif untuk berswafoto. Nama lokasinya adalah Puncak Mowewe.

Puncak ini berada di Kecamatan Mowewe, Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tempat wisata yang berada di pinggir jalan penghubung antar provinsi ini memiliki pemandangan alam yang cukup bagus. Selain dikelilingi oleh pepohonan juga terdapat hamparan sawah yang terbentang luas.

Sambil istirahat sejenak kami sempatkan mengambil beberapa dokumentasi.




Friday 25 October 2019

Duplikat Patung Kuda Troya di Probolinggo


Jika kawan-kawan pernah menonton Film Troy pasti tidak asing dengan patung kuda ini. Film Troy adalah  film nominasi Oscar yang ditayangkan pertama kali pada tanggal 14 Mei 2004, sebuah film yang mengisahkan tentang Perang Troya.

Dalam mitologi Yunani, Perang Troya adalah penyerbuan terhadap kota Troya oleh pasukan Akhaia (Yunani). Peristiwa ini terjadi karena Paris menculik Helene dari suaminya Menelaos, Raja Sparta. Perang ini merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam mitologi Yunani dan diceritakan di banyak karya sastra Yunani.

Dengan siasat Kuda Troya ini lah Pasukan Yunani akhirnya bisa mengalahkan Troya setelah 10 tahun gagal menggempur pertahanan benteng Troya. Dengan memasukkan beberapa pasukan Yunani ke dalam kuda yang dibawa masuk ke benteng oleh bangsa Troya sendiri, akhirnya beberapa pasukan Yunani tersebut bisa membuka gerbang pada malam hari, sehingga seluruh pasukan Yunani bisa masuk ke jantung pertahanan Troy dan membumihanguskan Troy.

Untuk bisa berfoto dengan Patung Kuda Troya ini anda tidak harus datang ke Kota Canakkale di Turki. Anda cukup datang ke Probolinggo saja. Konon Patung ini merupakan patung kuda terbesar di Indonesia dan yang kedua di Dunia setelah yang di Turki.







Tuesday 15 October 2019

Sore di Area Likuifaksi Petobo


"Did you still remember?", teman saya memulai cerita tentang Likuifaksi Petobo. Genap 1 tahun sudah berlalu bencana yang melanda Palu. Masih segar ingatan ini ketika berbagai media massa baik nasional maupun internasional memberitakan Tsunami, Gempa dan Likuifaksi di Sulawesi Tengah yang memakan korban ribuan jiwa.

Hari ini saya berkesempatan mengunjungi Kelurahan Petobo. Dimana di daerah ini terdapat fenomena bencana tanah yang mencair dan menenggelamkan ratusan rumah.

Luasan wilayah terdampak sangat besar, sesuai peta yang ada setidaknya termuat empat area, yaitu Kelurahan Petobo, Perumnas Balaroa, Desa Jono Oge dan Desa Sibalaya.


Sempat saya edarkan pandangan 360 derajat. Area ini di kelilingi timbunan lumpur bekas likuifaksi setinggi dua sampai tiga meter. Puing bangunan, rumah-rumah hancur, tanaman petani mulai mekar namun terserak berpadu dengan bau tidak sedap mengiringi perjalanan sore saya di sayap selatan Kelurahan Petobo, Palu.


Bulu kuduk sesekali berdiri tatkala saya merangsek masuk ketengah pemukiman. Terbayang puluhan bahkan mungkin ratusan mayat yang tertanam didalam puing-puing bangunan karena tidak bisa dievakuasi.

Begitu dahsyatnya bencana yang melanda daerah ini. Sehingga hampir semua bangunan rata dan bahkan tidak terlihat karena tertelan bumi.


Sungguh Tuhan jika menghendaki sesuatu terjadi maka terjadilah.

Saturday 12 October 2019

Hikmah saat berkunjung ke Masjid Al-Alam Kendari


"Jika kita ingin melihat sesuatu secara utuh maka lihatlah dari berbagai sudut pandang yang berbeda". Mungkin kalimat tersebut yang paling cocok sebagai pembuka tulisan saya di sore yang panas ini. Saya ingin melihat dunia yang tenang, tentram dan damai, sehingga tidak ada lagi saling gontok-gontokan. Apapun persoalannya.

Kebenaran itu hanya persoalan sudut pandang, kita dilarang merasa paling benar. Karena tidak akan pernah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Karena kebenaran mutlak milik Yang Maha Kuasa.

Sebagai contoh tulisan saya diatas adalah adanya berbagai kontroversi terkait pembangunan Masjid Al-Alam Kendari.
Masjid yang diresmikan tanggal 17 Oktober 2010 oleh gubernur Sulawesi Tenggara ini diakui atau tidak memang syarat kontroversi.

Seperti di ketahui Teluk Kendari adalah muara berkumpulnya air dari hulu sungai yang ada dibeberapa sungai di Sultra, mulai dari Konawe, Konawe Selatan dan Konawe Utara.

Masjid Al-Alam yang di rancang megah tersebut akan menjadi icon wisata religious di Teluk Kendari. Sebuah tujuan yang sangat mulia bukan ? Namun pembangunannya yang menggunakan cara reklamasi pada teluk Kendari ini, tentu sedikit banyak akan berdampak pada lingkungan perairan.

Dampak positif kegiatan reklamasi adalah peningkatan kualitas dan nilai ekonomi kawasan pesisir, mengurangi lahan yang dianggap kurang produktif, dan penambahan wilayah.

Namun tentu ada juga dampak negatifnya seperti erosi pantai, sedimentasi, peningkatan kekeruhan, pencemaran laut, peningkatan potensi banjir dan penggenangan di wilayah pesisir.

Nah dari pembangunan Masjid saja kita dituntut untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda agar hal-hal yang berpotensi adanya konflik karena perbedaan pandangan bisa kita minimalisir.








Wednesday 2 October 2019

Tebing Mandu Tontonan Enrekang


Dua hari yang lalu saya mendapat tugas untuk berkunjung ke Kecamatan Baraka di Kabupaten Enrekang. Dalam perjalanan kesana saya menjumpai tebing yang menjulang tinggi dengan didukung landscape yang sangat indah.

Saya pun memutuskan untuk berhenti sambil rehat sejenak. Menurut beberapa warga yang sedang mengerjakan gasebo, tebing tontonan adalah sebuah situs bersejarah yang dulu dikenal dengan nama serambi mayat.

Situs ini merupakan situs peninggalan prasejarah dimana terdapat mandu atau erong sebagai wadah kubur pada zaman sebelum masuknya Islam. Situs ini terletak di Tontonan Kelurahan Tanete, Kecamatan Anggeraja,  Kabupaten Enrekang.

Tebing Tontonan berdiri kokoh di pinggir sungai Mata Allo dengan kemiringan hampir mencapai 90 derajat.

Rupanya situs ini belum ada pengelolanya.  Pada saat saya datang memang terlihat para pekerja sedang melakukan pembuatan sarana dan prasarana untuk menunjang lokasi tersebut untuk menjadi lokasi wisata.