Thursday 20 August 2020

Menjenguk Anak Di Pondok



Kamis, 20 Agustus 2020, tiga hari setelah peringatan Kemerdekaan RI ke-75, saya beserta keluarga meluncur ke Ponpes Darul Iman Al Madina Tebuireng Jombang. Tujuannya adalah menjenguk putra pertama yang baru nyantri.

Hari ini akan menjadi hari yang mendebarkan sekaligus membahagiakan. Sebabnya, sudah 40 hari, orang tua santri baru dilarang bertemu anaknya. Terasa lama menunggu tibanya hari ini untuk melihat keadaan putra saya yang berjuang seorang diri, menapak masa depannya. Inikah yang disebut rindu dan kasih sayang?

Sejak pagi, halaman pesantren telah dipadati keluarga orang tua santri. Saya melihat beberapa santri baru tak kuasa meneteskan air mata. Entah apa maknanya? Sedih, gembira rindu, tidak betah, luapan derita, atau tetesan bahagia? Yang pasti, ekspresi itu muncul dari lubuk hati dan bukti kasih sayang antara anak dan orang tua yang tidak bisa aku tumpahkan melalui pena dan kata-kata.

Sebelumnya, isteri saya telah belanja dan menyiapkan snack, kue, dan makanan favorit putraku. Amunisi baru siap kirim untuk memperkokoh tekad sang buah hati menjadi santri. Selain itu, kami juga telah siap lahir batin untuk menjadi pendengar setia tentang pengalaman baru putraku berada di "penjara suci". Tak lupa surat keterangan sehat juga kami persiapkan untuk memasuki area pondok, karena di masa pandemi ini segala protokol kesehatan harus kita patuhi guna keselamatan bersama.

Saya menduga, putraku bakal berkeluh kesah dan bercerita panjang lebar tentang beratnya menjalani hidup di pesantren, seperti berebut jemuran, lelahnya mencuci baju, antri toilet, konsumsi yang tidak sesuai selera, teman yang nakal, sulitnya pelajaran baru, dan berbagai macam hal.

Ternyata, dugaan saya keliru. Putraku lebih banyak diam. Dari tatap matanya yang berkaca-kaca, tampak ketabahan dan kekuatan yang tidak aku kira. Ternyata dia sanggup menanggung semua derita. Ia jauh lebih kuat daripada yang aku perkirakan. Ia sanggup memendam semua hal yang kurang menyenangkan dan berusaha menampilkan diri bahwa semua baik-baik saja.

Dari pertemuan pertama ini, saya baru tahu, bahwa pesantren mengajarkan kita bertahan dalam kondisi dan situasi apapun, baik senang maupun tidak. Pengalaman ini jelas berharga bagi seorang santri dalam membentuk karakter sebagai seorang pejuang, bukan pecundang.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB, satu jam sudah terlewati. Tiba waktunya untuk kembali berpisah. Aku berpesan :

"Putraku, kamu baru saja melangkah. Teruslah, jangan berhenti, apalagi balik kembali. Di sepanjang jalan, akan kamu temukan bunga dan juga duri. Inilah kehidupan. Tapi, jangan pernah berhenti. Jalan masih panjang, ada yang lurus, ada pula yang berliku. Di masa depan, kamu akan mengenang perjalanan penuh nostalgia ini dengan penuh kepuasan dan kebahagiaan. Percayalah, karena aku telah mengalaminya".



Monday 10 August 2020

Pesona Kora Evar

 


Terik matahari menyengat saat berkendara di bibir Laut Arafuru seakan memaksa saya harus berhenti sejenak. Awal Desember 2018 lalu di Pantai Batu Kora Desa Wangel, Kecamatan Pulau-pulau Aru, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Tampak beberapa orang pengunjung menikmati deburan ombak di sekitar tiga pecahan batu besar di pantai tersebut.


Seorang pengunjung mengambil gambar dari pesisir pantai yang berada di sisi timur gugus batu itu dengan kameranya. Hasil gambar berupa sinar matahari yang menembus deretan batu-batu sungguh menarik.

”Gambarnya keren. Mengintip mentari dari balik batu, he-he-he,” ujar pengunjung sambil tertawa seraya menunjukkan hasil potretannya. Tiga pecahan batu besar yang kelilingnya lebih dari 7 meter, dengan tinggi sekitar 5 meter dari dasar laut berbanjar tegak ke tengah laut itu memang merupakan daya tarik utama di pantai tersebut. Di pantai itu ada juga beberapa batu lain berukuran lebih kecil berdiri di sana membentuk sebuah gugus batu dengan jarak lebih kurang 50 meter hingga 70 meter dari garis pantai.

Pada salah satu bongkahan batu terbesar, di bagian atas terdapat lapisan tanah yang ditumbuhi pohon kelapa dan pinus. Pinus merindang hijau dan kelapa tegak menjulang, subur seperti halnya tumbuh di habitat biasanya. Ketika laut surut hingga belasan meter dari bibir pantai, pengunjung dengan mudah mendekati batu-batu itu.

Deretan batu yang terbilang unik tampak sempurna karena dibingkai pesisir pantai berpasir putih sejauh hampir 2 kilometer. Di sana berdiri ratusan pohon nyiur sehingga membuat suasana terasa asri kendati matahari siang menyengat.

Sajian pesonanya memang menggairahkan penikmat wisata sehingga menjadi pilihan utama warga Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, dan sekitarnya.

Pemahaman Tentang Empan Papan


Ada sesuatu yang ingin saya tulis terkait filosofi Jawa yang sudah mulai jarang terdengar dalam kehidupan kita sehari-hari yaitu pemahaman tentang "Empan Papan" dimana artinya suatu sikap atau laku perbuatan orang yang bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dan pada saat dan kondisi yang tepat.

Sebagai contoh yang bisa saya sebutkan diantaranya :

Bahwa kita sepenuhnya berhak atas sebuah kegembiraan, itu benar. Kemudian, apakah kita boleh melompat-lompat dan berteriak dengan keras ketika ada orang sakit di situ?

Bahwa ketika lapar kita bisa makan dengan leluasa, apakah berarti kita boleh makan di area bandara dengan menggelar tikar?

Bahwa ketika kita memiliki sepatu yang sangat mahal, apakah kita bisa memakainya dengan cara mengalungkan di leher?

Bahwa ketika melihat postingan di sosmed yang rasa-rasanya menampar kita, apa ya benar postingan itu sangat khusus ditujukan kepada kita saja?

Hal ini diperlukan untuk lebih mudah melihat fenomena apapun dalam kehidupan. Semua ada takarannya. Semua ada tempatnya.

Salah satu takaran itu adalah produk budaya, termasuk bahasa lokal, situasi kondisi sosial dan budaya masyarakat.

Semoga bermanfaat.....