Tuesday 25 February 2020

Bertemu dengan Warga Korban Gempa Lombok


Bak menyisir ingatan ketika saya berkesempatan mengunjungi beberapa lokasi yang terdampak gempa Lombok dan bertemu dengan puluhan warga yang menjadi korban.

Peristiwa yang sangat mengerikan tersebut terjadi ketika gempa dengan kekuatan 7 Magnitudo mengguncang Lombok tanggal 05 Agustus 2018 pukul 19.46 Wita. Saat itu saya berada di Pantai Senggigi dan ikut bergabung bersama ribuan warga yang panik atas kejadian tersebut. Dilaporkan warga meninggal mencapai 381 orang, luka-luka 1033 orang dan kerugian rumah mencapai 22.721 unit yang rusak.

Hari ini tanggal 25 Februari 2020 saya menyusuri sisi barat dan utara Pulau Lombok mulai dari Pantai Ampenan, Senggigi, Pemenang, Tanjung, Bayan sampai Senaru di Kaki Gunung Rinjani untuk sebuah tugas dan berkesempatan bertemu dengan para korban.

Gempa tersebut sungguh menyisakan berbagai kisah pilu dan duka bagi warga Lombok. Guratan sedih masih terlihat jelas di wajah-wajah orang yang saya temui. Banyak dari mereka meratapi rumahnya yang hancur saat gempa terjadi.

Namun kita harus apresiasi langkah sigap pemerintah dan berbagai elemen yang bahu membahu membuat Lombok bangkit kembali.

Thursday 20 February 2020

Cerita Manhattan New York ditukar Pulau Run Maluku Karena Pala


Mungkin banyak diantara rekan-rekan yang belum pernah melihat pohon dan buah pala, termasuk saya. Walaupun sering pergi ke Maluku, saya juga tidak memperhatikan pohon yang dulu sempat membuat Belanda harus menukar Manhattan New York dengan Pulau Run di Banda Naera Maluku yang berukuran panjang 3,2 kilometer dan lebar 0,8 kilometer yang saat itu dikuasai Inggris karena termasuk daerah penghasil Pala.

Pala menjadi komoditas yang sangat berharga di Eropa kala itu. Konon harga segenggam pala setara dengan segenggam emas. Rempah menjadi bahan pengawet makanan, obat-obatan, hingga pemanas tubuh saat musim dingin melanda.

Cerita ini saya dapat dari seorang kawan ketika berada di lokasi pembibitan pala di kota Manado. Transaksi pertukaran tersebut bermula ketika Belanda berhasil mengalahkan Inggris di hampir seluruh Kepulauan Banda pada tahun 1621.

Namun tidak semua wilayah Kepulauan Banda berhasil dikuasai, Kerajaan Inggris masih memiliki Pulau Run.

Agar bisa memonopoli perdagangan pala, Belanda melakukan negosiasi untuk menukar Pulau Run dengan daerah jajahannya di pantai timur Benua Amerika, yaitu Manhattan.

Melalui Perjanjian Breda yang ditandatangani pada tanggal 31 Juli 1667, Inggris setuju dengan tawaran itu dan pulau yang dalam Bahasa Indian disebut dengan Manhattan tersebut resmi berpindah kepemilikan.

Dan selang 3,5 abad Manhattan kini berkembang menjadi kota bisnis terbesar di dunia. Sedangkan kehidupan Pulau Run berjalan sangat pelan, sejalan dengan harum buah pala yang tak lagi tercium oleh bangsa asing bahkan bangsanya sendiri.

Saturday 8 February 2020

Legenda Batu Sife / Batu Ayam di Pulau Asutubun


Selalu ada cerita di setiap perjalanan, kisah cerita ini saya dapat dari rekan-rekan pemuda Saumlaki yang berkunjung ke Pantai Sife di Pulau Asutubun bersama saya. Dengan menaiki perahu motor, kami bertujuh menyusuri pantai Pulau Yamdena untuk sampai di Pantai Sife.

Beberapa dari kami banyak yang tidak tau akan pantai sife, hanya 2 orang saja yang sudah pernah kesana.

Terik matahari yang menyengat dan goyangan ombak menemani kami sepanjang perjalanan diatas perahu selama 1,5 jam. Ketika sudah mau sampai di Pantai, teman saya menunjuk ke batu karang sambil bilang, disitu letaknya batu sife. Saya pun bertanya Batu Sife itu apa ? Dia bilang bahwa Batu Sife adalah Batu Ayam.

Konon Batu Sife adalah jelmaan dari ayam peliharaan Inkelu, makhluk halus penunggu pantai sife. Banyak orang yang mengatakan, bahwa setiap kali mereka datang ke pantai sife terdengar suara ayam berkokok. Padahal, sama sekali tak ada seekor ayam pun hidup di sana. Konon, suara tersebut merupakan ayam milik Inkelu yang telah berubah menjadi batu.

Karena penasaran saya mengajak beberapa kawan naik ke batu karang untuk melihat dari dekat. Memang butuh perjuangan untuk sampai di Batu Sife ini. Karena karangnya sangat tajam, jadi harus berhati- hati. Setelah sampai di atas karang saya mengambil beberapa dokumentasi.







Saturday 1 February 2020

Ngopi di "Jarod" Manado


Efek nunggu terlalu lama di Bandara, akhirnya saya iseng buka blog pribadi, eh tidak terasa sudah 1 bulan absen tidak buat catatan.   Memang 1 bulan terakhir ini saya lebih sering rute antar kota antar propinsi. Dan baru 1 minggu terakhir ini rute nya antar pulau. Bukan berarti antar kota nggak ada yang bisa di catat, ini karena saya aja yang sedikit beradaptasi dengan tanggung jawab baru.

Ok saya rasa cukup preambule nya. Saya akan memulai catatannya. Kemarin saya dikasi tau teman saya yang tinggal di Manado sebuah lokasi ngopi yang konon legendaris. Beliau bilang kalau nggak ngopi disitu sayang sekali, karena merupakan tempat yang cukup populer di kalangan penikmat kopi di sekitaran kota Manado.

Nama lokasi nya adalah "Jarod", mendengar yang aneh dan unik membuat terpantik rasa penasaran saya, langsung saja saya tanya Jarod itu apa ? Beliau bilang Jarod adalah singkatan dari Jalan Roda. Wah mirip Pingka yang ada di Tulungagung. Membuat populer sebuah tempat dengan menyingkat suku katanya. Kalau Pingka singkatan dari Pinggir Kali, hehe.....

Wokey singkat cerita kami menuju ke lokasi tersebut. Dan ternyata lokasinya ada di sebuah gang. Terlihat motor berjajar disekitaran lokasi tersebut. Gapura nya bertuliskan "Welcome to Community of Jalan Roda", kami memasuki gang tersebut yang sudah dipenuhi para penikmat kopi dari berbagai usia dan kalangan.


Kami pesan 3 kopi susu. Kalau dilihat dari presentasi lapisan cairan nya mirip vietnam drip, yaitu susu cream dibagian bawah dan kopi di atasnya. Tapi nggak pakai alat, kopinya langsung dicampur saat memasak air. Saya coba satu sruput....eh mantap juga....😁.


Baru lah kita mulai bahas Jarod itu apa, jadi begini....berdasarkan berbagai referensi konon Kota Manado dahulunya terkenal dengan nama wenang. Di Wenang ini terdapat satu kawasan yang bernama jalan roda atau jarod. Sejak jaman dulu, bahkan sebelum perang dunia I dan II, tempat ini menjadi titik kumpul dari warga masyarakat Minahasa, baik dari Tomohon, Tonsea, Tanawangko, dan Wori yang datang ke Wenang untuk menjual bahan-bahan hasil bumi.


Disebut jalan roda karena masyarakat Minahasa yang datang berjualan di tempat ini menggunakan alat transportasi roda pedati atau gerobak yang ditarik oleh sapi atau kuda.

Jalan roda pada waktu itu berfungsi sebagai stasiun roda atau pedati dan merupakan tempat berjualan bahan-bahan hasil bumi karena lokasinya berdekatan dengan pasar besar pada kala itu yaitu pasar Minahasa.

Nah saking populernya tempat ini, sampai sekarang tetap dilestarikan oleh masyarakat sekitar untuk berjualan kopi di jalan roda tersebut. Walaupun saat ini sudah bermetamorfosis menjadi kawasan yang modern. Namun esensi menikmati kopinya saya yakin masih sama dengan dahulu kala.