Wednesday 30 June 2021

Kekuatan Sebuah Tulisan dan Ucapan

 


Ada ungkapan bahwa satu peluru bisa menembus satu kepala, tetapi satu tulisan bisa menembus ribuan bahkan jutaan kepala. Berapa banyak orang yang akhirnya patah semangat setelah membaca beberapa tulisan, atau sebaliknya berapa banyak orang yang akhirnya memiliki motivasi besar setelah mengikuti seminar ?

Hal ini tentu menjadi sebuah bukti bahwa tulisan dan ucapan memiliki kekuatan yang besar. Kemudian, dalam hal negatifnya juga banyak. Misalkan berapa banyak yang depresi karena membaca komentar negatif atas dirinya, atau berapa banyak yang menjadi minder karena ucapan seseorang dan seterusnya.

Sederhananya, berapa banyak orang yang akhirnya malas bertemu atau mengikuti sebuah acara karena selalu disindir, dianggap tidak mampu, tidak ada gunanya, dan seterusnya. Memang lidah tidak bertulang, tetapi sangat bisa membuat banyak orang tersakiti. 

Jadi sebuah renungan untuk kita semua, sudah berapa tulisan baik yang kita buat? sudah berapa ucapan yang membuat orang menjadi lebih baik yang kita ucapkan?

Jika masih sedikit maka, mari kita sama-sama merenung dan memikirkan benar-benar sebelum menulis atau mengucapkan sesuatu. 

Monday 7 June 2021

Mencicipi Rujak Kecut Banyuwangi

 


Ada yang bilang bahwa Banyuwangi adalah kota seribu rujak, karena disini rujak begitu banyak sekali macamnya seperti Rujak Wuni, Rujak Locok, Rujak Lethok, Rujak Kecut, Rujak Pecel, Rujak Cemplung, Rujak Singgul, Rujak Soto, Rujak Bakso dan rujak-rujak lainnya. 

Nah hari ini saya berkesempatan mencicipi Rujak Kecut khas Banyuwangi. Mendengar nama rujak kecut, siapapun pasti akan membayangkan dominan rasa asam dalam kuliner tersebut. Namun jangan salah, bila mencoba kuliner yang satu ini, aroma harum, segar, disertai rasa gurih, pedas, manis dan asam akan membuat ketagihan.

Menurut penjual rujak kecut di Desa Wisata Osing, masyarakat Osing bila sakit kepala obatnya cukup mengkonsumsi rujak kecut. "Wong dadi obat. Lak ngelu makan rujak kecut marek." kata nya.



Friday 4 June 2021

Tulisan saat di Bumi Blambangan

 


Jarum jam di tangan menunjukkan angka sembilan pagi. Hari itu saya mendapatkan tugas untuk berkunjung ke beberapa lokasi di ujung timur pulau Jawa. Tanah di desa Krajan, Sukojati, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, masih basah karena diguyur hujan lokal sejak pagi. 

Laju mobil yang saya kendarai berjalan lambat karena harus menyusuri jalan sempit perkampungan. Dari kaca mobil, saya bisa memandang hamparan sawah di kanan dan kiri jalan.

Titik yang saya kunjungi hampir merata di seluruh Kabupaten Banyuwangi, mulai sisi utara, selatan, timur dan barat. Start saya mulai dari Rogojampi, sekitar 20 kilometer dari Kota Banyuwangi. Selanjutnya saya lanjutkan ke Cluring, Singojuruh, Genteng, Kalipuro, Muncar dan beberapa lokasi lainnya.

Dari beberapa lokasi tadi, yang paling berkesan saat berada di Muncar. Konon menurut salah satu warga yang saya ajak ngobrol ketika makan siang, Muncar adalah pusat kerajaan Blambangan yang dibangun VOC setelah kekalahan rakyat Blambangan dalam perang Puputan Bayu. Bisa disebut, di Muncar inilah periode Kerajaan Blambangan II yang bercorak Islam dimulai, dan merupakan ibu kota kerajaan terakhir sebelum akhirnya pindah ke Banyuwangi.

Di Muncar saya sempat mampir di Situs Umpak Songo, Desa Tembokrejo. Situs ini dipercaya sebagai bekas reruntuhan bagian kerajaan. Di dalam areal seluas setengah hektare itu terdapat 49 batu besar dengan sembilan batu di antaranya berlubang di tengah. Batu-batu yang tengahnya berlubang itu berfungsi sebagai umpak atau penyangga. Karena itulah, situs ini dinamakan Umpak Songo yang artinya sembilan penyangga.

VOC memindahkan ibu kota kerajaan ke wilayah ini karena letaknya yang berdekatan dengan Pelabuhan Muncar. VOC berkepentingan mengawasi Selat Bali dari kerajaan-kerajaan di Bali yang berusaha merebut Blambangan. Apalagi, kerajaan-kerajaan di Bali kerap memberi bantuan kepada Blambangan saat peperangan melawan VOC maupun kerajaan-kerajaan Islam sehingga Blambangan sulit terkalahkan.

Langkah lain, VOC akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Mataram Islam untuk mengislamkan Blambangan sebagai upaya untuk memutus hubungan Blambangan dengan Bali. Islamisasi itu ditempuh dengan menempatkan orang-orang Mataram Islam untuk menjadi raja di Blambangan dengan harapan proses Islamisasi berlangsung cepat.

Jarum jam mulai menunjukkan pukul lima sore, sudah saat nya kembali ke penginapan. Saya merasa bersyukur dimana bisa mendapatkan sebuah pengetahuan tentang sejarah kerajaan Blambangan yang mana riwayatnya masih tetap lestari di masyarakat.