Wednesday 27 February 2019

Kelud Yang Tetap Mempesona


Siang itu udara gunung yang segar datang menyergap. Awalnya mendung dan kabut yang menyambut, agak menghawatirkan. Jangan-jangan di tengah perjalanan turun hujan. Syukurlah berangsur - angsur kabut beranjak pergi, sekitar gunung makin cerah. 

Siang itu view Kelud sangat cantik. Pohon-pohon mulai tumbuh besar menghijau setelah erupsi tahun 2014. Bentang alamnya sangat mengagumkan. Bukit-bukit kokoh berdiri, menampakkan kegagahannya. Sepanjang perjalanan naik motor, saya rasakan benar-benar fresh. Akhirnya saya tiba di ujung perjalanan.

Hari ini, Rabu ( 27/2/2019 ), terhitung lima tahun sudah sejak Gunung Kelud memuntahkan isi perutnya. Gunung setinggi 1.731 mdpl tersebut pada masa itu meletus dahsyat jelang tengah malam.

Erupsi itu menyebabkan kerusakan parah pada kawasan sekitar gunung, bahkan abu vulkanik yang disemburkan menyebabkan beberapa bandara di Jawa tutup operasi.

Meski saat itu tidak ada korban jiwa secara langsung, ribuan warga diharuskan meninggalkan rumahnya. Mereka mengungsi hingga beberapa hari. Bencana itu tetap terkenang.

Kini, semua sudah berbenah bahkan merasakan berkah. Gunung Kelud kembali memancarkan pesonanya. Ini yang membuat banyak wisatawan mulai berdatangan. Namun, mereka tidak bisa menikmati kawasan puncak yang kini berubah bentuk, dari awalnya anak gunung, lalu menjadi danau kawah.

Kawasan itu masih tertutup karena kontur tanah yang masih labil serta adanya renovasi yang tengah berlangsung. Meski demikian, masih banyak yang bisa kita nikmati di sekitaran Kelud.







Sunday 24 February 2019

Kenapa Saya Menulis ?

"Kenapa saya menulis ?" Sebuah pertanyaan untuk kesekian kalinya yang pernah ditujukan kepada saya, jawabannya adalah "saya ingin mengabadikan". Karena saya tau manusia itu sangat pelupa. Ada bagian dari diri saya yang sangat egois yang sangat takut dilupakan oleh orang lain. Dan juga saya takut sekali melupakan segala sesuatu. Jadi saya mengabadikan momentum-momentum tersebut dalam bentuk tulisan.

Dan kalau kawan-kawan bertanya bagaimana caranya menulis, saya rasa hanya orang-orang yang kurang membaca buku yang mengeluarkan pertanyaan semacam itu. Karena semakin banyak kita membaca buku, maka semakin banyak yang ingin kita keluarkan dari dalam pikiran kita, juga hati kita.

"Jadi membacalah untuk tahu segala sesuatu yang ada di masa lalu dan menulislah untuk memberitahu pada mereka yang ada di masa depan".

Jangan hanya ingin terkenal, itu cuma akibat bukan tujuan, jangan berhenti menulis, jangan berhenti mengabadikan.

Salam Wiyak Bumi Wiyak Langit.

Rudy Salam

Wednesday 20 February 2019

Berkunjung ke Istana Gebang Blitar


Banyak petugas berpakaian atasan putih dan bawahan hitam berlalu lalang di sekitaran bangunan yang konon disebut Istana Gebang. Terdapat juga beberapa anggota kepolisian sedang bersiaga di beberapa sudut Istana.

Saya beranikan diri masuk ke halaman Istana untuk menemui salah satu petugas. Saya tanyakan ada kegiatan apa gerangan di Istana sore ini. Dan saya peroleh jawaban bahwa terdapat kunjungan dari Mabes Polri. Selanjutnya beberapa petugas mempersilahkan saya dengan ramah untuk memasuki istana. Dengan senang hati saya menyambutnya.

Memang kedatangan saya ke Istana Gebang di Blitar ini dalam rangka melengkapi pengalaman saya untuk mengunjungi beberapa tempat yang pernah ditinggali Bung Karno semasa hidupnya.

Sebelumnya saya berkunjung ke lokasi yang pernah ditinggali Bung Karno di Parapat Kabupaten Simalungun Sumatera Utara, Gunung Manumbing Pulau Bangka, Kota Ende Pulau Flores dan Istana Bogor. Nah sekarang saya berada di Istana Gebang yang konon sebelumnya digunakan tinggal oleh bung Karno ketika masih remaja.

Istana Gabang atau dalam bahasa Jawa disebut dengan ndalem Gebang merupakan rumah tempat tinggal Orang tua Bung Karno. Rumah ini letaknya tidak jauh dari Makam Bung Karno kira-kira 2 km ke arah selatan, tepatnya di Jalan Sultan Agung No. 69 Kota Blitar. Rumah ini sebenarnya milik bapak Poegoeh Wardoyo suami dari Sukarmini, kakak kandung Bung Karno. Selain ditempati oleh kedua orang tua Bung Karno, ditempat ini pula Sang Proklamator pernah tinggal ketika masa-masa remajanya.

Istana Gebang berdiri di atas lahan sekitar dua hektar. Keseluruhan bagiannya terdiri dari rumah utama, bagian ini terdiri dari ruang tamu yang cukup luas dengan perabot kursi model lama. Dan beberapa meja dan lemari kecil di sisi barat.

Selain itu juga terdapat ruang keluarga yang juga cukup lapang dengan deretan kursi kayu berkombinasi anyaman rotan. Di sana juga terdapat kursi kayu santai lengkap dengan bangku kecil sebagi penopang kaki di bawahnya. Kursi ini biasa digunakan Soekarmini Wardojo, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ibu Wardojo, di masa hidupnya. Soekarmini adalah kakak dari Soekarno, yang menikah dengan Wardojo sebagai suami keduanya. Karena itu pula Istana Gebang lebih akrab bagi masyarakat setempat dengan sebutan rumah Ibu Wardojo.

Di sebelah kanan rumah utama terdapat Balai Kesenian. Dulu balai kesenian itu memang digunakan sebagai tempat berekspresi bagi para seniman di sana. Di masa hidup Soekarmini Wardojo, bangunan ini juga sering digunakan untuk pementasan wayang. Dahulu, di dalamnya dilengkapi dengan seperangkat gamelan beserta wayang kulit milik mereka.

Setiap tanggal 6 Juni, yakni tanggal kelahiran Bung Karno, rumah ini diselenggarakan haul dan berbagai macam kesenian untuk memperingati hari jadi Bung Karno dan sebagai ajang hiburan rakyat.







Tuesday 19 February 2019

Obrolan yang tertunda tentang asal-usul nama Blitar


Sore ini langit mendung menyelimuti kota Blitar, sambil mengendarai mobil, saya melanjutkan perbincangan yang sempat terputus dengan kawan karena harus berkunjung ke rumah salah satu warga di desa Ngadri, Binangun untuk alasan pekerjaan.

Perbincangan kami masih seputar asal-usul nama yang tersemat di kota tempat makam Bung Karno.

Konon dahulu kala terdapat hamparan hutan yang masih belum terjamah manusia di sisi selatan Jawa bagian timur. Segerombolan pasukan Tartar bersembunyi di dalam hutan tersebut dan melakukan pemberontakan yang mengancam eksistensi Majapahit.

Nilasuwarna, ketika itu mengemban tugas dari Majapahit untuk menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi di dalam hutan.

Singkat cerita, Nilasuwarna pun berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Bala pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan, dapat dikalahkan.

Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan.

Kawasan hutan selatan inilah, yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Singkatan dari "Bali (pulang) dari melawan Tartar", nama tersebut sebagai tanda atau pengingat untuk mengenang keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut.

Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik.

Dan sampai saat ini kota Blitar berkembang dengan pesat seiring dengan modernisasi kehidupan.


Thursday 7 February 2019

Silaturrahmi ke Kedaton Jailolo


Sore menjelang malam, saya berkunjung ke Kedaton Jailolo. Suasana sepi di sekitaran Kedaton. Maksud hati ingin mengambil beberapa dokumentasi, namun sesuai adat ketimuran saya harus meminta ijin terlebih dahulu kepada sang empunya. Saya beranikan masuk ke pelataran kedaton yang saat itu pintunya sedang terbuka. Terdapat pria yang berusia sekitar 50 tahunan menemui saya. Beliau adalah Pak Ahmad sang kepala urusan rumah tangga kedaton.

Saya sampaikan maksud kedatangan saya ke Kedaton Jailolo, dan ternyata pak Ahmad sangat antusias menyambut saya. Beliau mempersilahkan saya mengambil beberapa dokumentasi dan mengajak saya masuk ke pelataran kedaton. Tak hanya itu Pak Ahmad juga berkenan menjawab semua pertanyaan yang saya sampaikan kepada beliau dengan jelas. Maklum saya orangnya suka penasaran dengan hal yang unik ....hehe....

Pak Ahmad juga menyampaikan bahwa Sang Sultan tidak ada ditempat, saat itu beliau ada di Jakarta. Menurut Pak Ahmad seandainya Sang Sultan ada pasti akan dengan  senang hati menemui. Wah jadi agak GR.....hehe.

Waktu terus berjalan, dan pak Ahmad masih setia menemani saya ke beberapa titik lokasi di Kedaton. Saya pun mengambil dokumentasi di setiap sudutnya.

Sampai tiba waktunya saya harus berpamitan dengan Pak Ahmad. Karena sang surya sudah mulai masuk ke peraduannya.

Dan berikut beberapa dokumentasi yang sempat saya abadikan saat di Kedaton Jailolo.










Tuesday 5 February 2019

Trip to Jailolo


Mungkin sebagian kawan-kawan sedikit asing mendengar kata JAILOLO, bagi yang belum pernah mendengar ini merupakan nama lain dari Kabupaten Halmahera Barat di Provinsi Maluku Utara.

Kebetulan saya berkesempatan untuk melakukan trip ke kota yang konon ramainya urutan ketiga di Maluku Utara ini. Urutan kota yang paling ramai adalah Ternate disusul Tobelo baru Jailolo dan seterusnya. Ini versi saya lo ya....hehe....karena di Maluku Utara ini setidaknya saya sudah berkunjung ke 6 kota nya yaitu Ternate, Tidore, Tobelo, Morotai, Sofifi dan yang saat ini saya kunjungi adalah Jailolo. Paling tidak saya sudah bisa membandingkan kira-kira seramai apa disini.

Yap .... Menuju ke Halmahera Barat atau Jailolo memang di butuhkan effort yang luar biasa. Bisa dibayangkan mulai dari transportasi darat, laut hingga udara harus kita naiki, lengkap sudah. Kalau soal biaya jangan ditanya pasti besar biayanya. Belum lagi tantangan saat di perjalanan laut, ombaknya luar biasa besar. Dan bagi yang suka mual naik kapal. Saya pastikan muntah deh.....hehe....


Namun semua itu pasti akan terbayarkan dengan pengalaman yang tidak mungkin terlupakan di sini.

Ok saya rasa sekian dulu catatan sore ini. Saya mau mandi dulu setelah menempuh perjalanan  sekitar 8 jam dari rumah saya di Sidoarjo.

Friday 1 February 2019

Menyeberang ke Pulau Seram

Mengunjungi pulau yang namanya unik ini adalah kali kedua yang saya lakukan. Sama seperti kedatangan sebelumnya. Sebuah perjuangan dalam keberangkatan harus saya alami. Saya harus bangun pagi hari untuk bisa mendapatkan kapal pertama yang mengantarkan saya menuju pulau Seram. Biasanya kapal berangkat pukul 05.30 WIT.

Untuk mencapai Pelabuhan Liang harus saya tempuh dalam waktu 1 jam dari Kota Ambon. Jadi pukul 04.30 WIT saya sudah berangkat dari hotel. Perlu diketahui terdapat perbedaan waktu 2 jam lebih awal antara Sidoarjo dan Ambon. Artinya sama dengan pukul 02.30 WIB. Bisa dibayangkan masih mengantuknya mata ini. Belum lagi malam harinya saya baru bisa tidur pukul 24.00 WIT.

Dengan jalur yang agak berkelok, kecepatan rata-rata 60 KM/Jam akhirnya saya sampai di tujuan tepat waktu. Loket tiket sudah buka. Saya membeli tiket ekonomi dengan harapan bisa melihat pemandangan langsung tanpa harus disekat oleh kaca. Karena ruangan VIP semua tertutup kaca dan ber-AC.

Perjalanan saya nikmati dengan menyenangkan. Tepat pukul 07.30 WIT kapal sudah merapat di Pelabuhan Waipirit Pulau Seram. Saya langsung naik bentor menuju ke kantor. Kebetulan lokasi nya tidak jauh dari pelabuhan. Aktivitas saya lakukan dengan cepat. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIT. Saya berpamitan dengan kawan-kawan untuk menuju ke pelabuhan. Karena jadwal kapal ke Ambon biasanya pukul 18.00 WIT. Suasana pelabuhan masih bersahabat dan agak sedikit mendung.

Kami pun bergegas naik kapal. Nah setelah 30 menit berada diatas kapal. Angin kencang mulai menghempas kapal yang kami naiki. Hujanpun turun dengan lebatnya. Sampai-sampai terpal penutup jendela talinya lepas karena tidak kuat menahan kencangnya angin. Beruntungnya ABK kapal cukup sigap. Mereka berusaha menali terpal tersebut agar air hujan tidak masuk langsung ke ruang penumpang.

Goncangan ombak kami rasakan di atas kapal kurang lebih selama 1 jam. Dan kapalpun sudah merapat di Pelabuhan Liang pada pukul 21.00 WIT.

Alam memang tidak bisa ditebak, hanya berselang beberapa menit saja semua bisa berubah. Syukur alhamdulillah semua bisa dilalui sesuai rencana.