Wednesday 15 February 2017

Cerita tentang Motif Tameng Dayak



Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia yang sangat kaya akan ragam seni budaya. Dan di sore yang dibalut mendung ini saya akan mengajak rekan-rekan menjelajahi Pulau Borneo dengan membahas salah satu karya seni bernilai tinggi dari Suku Dayak.

Sudah siap ? yuk kita mulai….untuk melengkapi mandau, masyarakat Suku Dayak menggunakan talawang atau tameng dalam berperang. Sama halnya dengan mandau, talawang merupakan benda budaya yang lahir dari kepercayaan masyarakat Dayak terhadap kekuatan magis. Selain itu, talawang juga memiliki sisi estetis yang ditunjukkan pada motif ukirannya.
Talawang dibuat dari kayu ulin atau kayu besi. Tapi ada juga yang terbuat dari kayu liat. Kayu jenis ini merupakan bahan pokok yang sering digunakan dalam pembuatan talawang. Kayu-kayu tersebut dipilih karena selain ringan, juga mampu bertahan hingga ratusan tahun.

Seperti perisai pada umumnya, talawang berbentuk persegi panjang yang dibuat runcing pada bagian atas dan bawahnya. Panjang talawang sekitar 1-2 meter dengan lebar maksimal 50 centimeter. Sisi luar talawang dihias dengan ukiran yang mencirikan kebudayaan Dayak, sementara bagian dalamnya diberi pegangan.
Seiring berjalannya waktu, talawang mengalami pergeseran nilai kegunaan. Jika dahulu talawang digunakan sebagai pertahanan terakhir dalam berperang, kini talawang lebih berfungsi sebagai benda pajangan yang bernilai estetis sekaligus ekonomis. Termasuk sebagai ukiran pada dinding.


Sedikit cerita mengenai motif ukiran pada talawang atau perisai dayak yang saya coba tulis ulang agar menambah wawasan budaya kita.

Konon pada jaman dulu terdapat legenda Pengayau orang Iban, yakni Langindang dan Langkacang. Pada saat pertempuran sengit berlangsung , tubuh Langindang tiba-tiba bergidik melihat perisai Langkacang. Tubuhnya menjadi lemas . Ia pun ketakutan luar biasa karena perisai Langkacang yg bermotif Iban Laki-Laki. Lain dengan Langkacang, Ia tiba-tiba iba dengan Langindang ketika menatap perisai yang digunakan Langindang. Perisai Langindang yg bermotif Iban perempuan , malah menyurutkan semangat tempurnya, karena kasihan dengan musuh.

Legenda orang Dayak Iban tentang pertempuran Langindang dan Langkacang, menggambarkan keyakinan suku Dayak Iban pada motif-motif yg dilukis diatas perisai. Masing-masing motif disimbolkan sebagai Gergasi (mahluk supranatural). Bagi Dayak Iban, perisai untuk berperang mempunyai dua macam jenis ukiran, yakni Laki-laki dan Perempuan.

Perbedaan jenis ukiran ini bukan dipandang dari segi penggunaannya, namun dari segi pengaruh magisnya. Motif Ukiran Perisai Laki-laki dipercaya mempengaruhi orang agar lemah semangat, takut luar biasa ketika memandang motifnya. Sedangkan motif Perisai perempuan, bisa membuat orang yang melihatnya merasa iba dan timbul rasa kasihan.
Perisai laki-laki digambar dengan motif-motif Gergasi. Gergasi digambarkan sebagai raksasa , memiliki tenang yg kuat, raut wajah yg menakutkan serta sepasang matanya merah menyala dengan dua pasang taring runcing. Warna yg digunakan untuk menggambar motif ini didominasi warna merah darah. Pada jaman dahulu, para pengayau menggunakan darah musuh dan dicampur dengan warna buah rotan sebagai penambah warna perisai.

Sedangkan ukiran Perisai perempuan digambarkan Gergasi yg dibuat sedemikian rupa sehingga menggambarkan kelembutan, keramahan dan persahabatan. Walaupun dipersepsikan sebagai Gergasi, gambaran watak Gergasi Perempuan tidak sama dengan Gergasi Laki-laki. Warna yg digunakan dalam menggambar perisai perempuan kebanyakan warna cerah seperti, kuning dan Putih. Pada jaman Dahulu warna-warna tersebut diambil dari kunyit dan kapur sirih.


Mungkin itu sedikit cerita mengenai motif talawang yang hampir dilupakan oleh generasi muda.

Sunday 12 February 2017

Berkunjung ke Pulau Maitara


Pada kesempatan yang lalu saya hanya bisa memotret pulau Maitara dari kejauhan, dan kali ini saya berkesempatan untuk mengunjungi pulau yang menawan tersebut secara langsung. Nama daratan yang menjadi salah satu penghuni kepulauan Maluku Utara ini memang tak setenar pulau-pulau lain di Indonesia seperti Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Meski demikian, pulau yang  juga tercetak bersama Tidore di atas lembaran seribu rupiah ini mempunyai keindahan alam yang layak untuk dipublikasi.
Perairan di sekitar Maitara amat jernih dan jarang tersentuh. Bila berkunjung ke salah satu pantainya, hilir mudik ikan-ikan kecil beraneka warna amat mudah terlihat. Panorama alami ini bisa disaksikan tanpa adanya gangguan tumpukan sampah atau kotoran lainnya. Lokasinya yang lumayan terpencil membuat pantai-pantainya memiliki suasana tenang, cocok bagi anda yang ingin memburu keheningan dan kedamaian.


Sekilas mengenai cerita rakyat tentang Pulau Maitara bahwa dulunya adalah bagian dari pulau Makian. Sultan Mansyur Malamo yang kala itu memimpin kesultanan Ternate merasa malu karena Tidore memiliki daratan yang lebih tinggi dari pulau Ternate. Ia pun mengutus burung Goheba untuk mengambil tanah dari pulau Makian. Oleh sang Sultan tanah itu nantinya akan di letakkan di atas puncak gunung Ternate agar pulau ini berdiri lebih tinggi dari gunung yang ada di Tidore.


Di perjalanan pulang, burung berkepala dua ini tersentak oleh sinar matahari yang kala itu sudah menyingsing lebih dahulu di kawasan Tidore. Tanah yang berada dalam cengkramannya pun jatuh diantara pulau Tidore dan Ternate. Berangsur-angsur tanah tersebut berubah menjadi pulau yang sekarang dinamakan Maitara.
Warga masyarakat semakin yakin akan kebenaran mitos ini dengan adanya kenyataan tidak pernah ada air tawar di temukan dari sumur-sumur rakyat yang tergali di pulau Maitara. Setiap kali sumur digali, air yang di dapatkan adalah air asin dari laut yang merembes ke atas. 


Maitara sendiri adalah bahasa Tidore yang berarti ‘makian ke ternate’. Versi lain menyebutkan bahwa kata Maitara juga berarti ‘jatuh ke bawah’. Alasan lain yang juga mendukung keberadaan mitos rakyat tersebut adalah bahwa pantai-pantai yang berada di Maitara pasirnya berwarna putih, sama dengan warna pasir pantai di pulau Makian dan berbeda dengan warna pasir di pulau Tidore atau Ternate yang sebagian besar berwarna hitam.



Disini juga telah dibangun monumen uang seribu rupiah.

Dan berikut adalah beberapa dokumentasi lainnya tentang Pulau Maitara yang sempat saya posting.