Wednesday 29 October 2014

Melihat secara dekat Pos Pengungsian Gunung Slamet



Gunung Slamet adalah gunung tertinggi dan terbesar di Jawa Tengah, dengan ketinggian 3428 meter dari permukaan laut, menjadikan gunung ini berpredikat sebagai gunung tertinggi kedua di Jawa setelah Semeru. Bisa dibayangkan kalau gunung ini jadi meletus beberapa waktu yang lalu, kemungkinan akan lebih dahsyat letusannya dari Gunung Merapi. Beruntung hanya batuk-batuk saja, namun demikian perlu diapresiasi kesigapan pemda setempat yang sudah menyiapkan jalur evakuasi dan pos-pos pengungsian apabila gunung ini jadi meletus. 
Beberapa waktu yang lalu saya tidak sengaja bisa berkunjung ke kaki gunung ini. Melihat secara dekat keindahan alam yang ada di kaki Gunung Slamet. Medan yang saya lalui memang cukup menantang, dengan tingkat kemiringan kurang lebih 45 derajat dan jalan yang tidak begitu mulus. Suhu di sini juga lumayan dingin. Hutan pinus menghiasi di kanan–kiri jalan yang saya lalui. 

Gunung Slamet berlokasi di perbatasan Kab. Brebes, Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, Kab. Tegal, dan Kab. Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Gunung ini cukup populer sebagai sasaran pendakian meskipun medannya dikenal sulit. Adapun Jalur pendakian Gunung Slamet bisa dilalui dari Blambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga. Jalur populer lain adalah dari Baturraden dan dari Desa Gambuhan, Desa Jurangmangu dan Desa Gunungsari di Kabupaten Pemalang. Selain itu adapula jalur yang baru saja diresmikan tahun 2013 lalu, yaitu jalur Dhipajaya yang terletak di Kabupaten Pemalang. Pendakian Gunung Slamet dikenal cukup sulit karena hampir di sepanjang rute pendakian tidak ditemukan air. Pendaki disarankan untuk membawa persediaan air yang cukup dari bawah. Faktor penyulit lain adalah kabut. Kabut di Gunung Slamet sangat mudah berubah-ubah dan pekat. Jalur pendakian lainnya adalah melalui obyek wisata pemandian air panas Guci, Kabupaten Tegal. Meskipun terjal, rute ini menyajikan pemandangan yang paling baik. Kawasan Guci dapat ditempuh dari Slawi menuju daerah Tuwel melewati Lebaksiu.
Untuk catatan sejarah mengenai Gunung Slamet menurut J. Noorduyn (sejarawan asal Belanda)  bahwa nama "Slamet" adalah relatif baru, yaitu setelah masuknya Islam ke Jawa (kata itu merupakan pinjaman dari bahasa Arab). Ia juga mengemukakan pendapat yang disebut sebagai Gunung Agung dalam naskah berbahasa Sunda mengenai petualangan Bujangga Manik adalah Gunung Slamet, berdasarkan pemaparan lokasi yang disebutkan.
Demikian catatan singkat saya ketika berada di kaki Gunung Slamet.

Monday 27 October 2014

Cerita tentang orang Lamongan tidak makan ikan lele




Saat berkunjung ke Lamongan, ada sebuah cerita yang cukup menarik untuk dibagikan. Ada yang bilang jika orang Lamongan asli tidak boleh memakan ikan lele. Benar atau tidak anggapan tersebut, hehe.......dari beberapa sumber yang sempat saya gali berikut hasil penelusurannya :

Dahulu, ada seorang Nyi Lurah yang meminjam piandel berupa keris kepada salah seorang waliullah/sunan (kemungkinan Sunan Ampel) untuk mencegah ontran-ontran atau huru-hara sekaligus untuk menjaga kewibawaannya di wilayahnya (sekitar wilayah Bojonegoro). Kanjeng Sunan pun memberikan keris yang dimilikinya kepada Nyi Lurah dengan beberapa syarat. Diantaranya adalah tidak boleh menggunakan keris tersebut untuk kekerasan (menumpahkan darah) dan harus segera dikembalikan kepada Sunan tersebut secara langsung setelah tujuh purnama (tujuh bulan).

Akhirnya Nyi Lurah berhasil mewujudkan cita-cita dan harapannya itu. Namun setelah tujuh purnama terlewati, Nyi Lurah belum juga mengembalikan keris kepada Kanjeng Sunan. Khawatir terjadi penyalahgunaan pada pusakanya, Kanjeng Sunan kemudian mengutus salah seorang muridnya untuk menemui Nyi Lurah dan mengambil kembali keris Kanjeng Sunan. Sampai di tempat Nyi Lurah, murid Kanjeng Sunan pun segera menemui Nyi Lurah.

Saat murid tersebut menghadap dan mengutarakan maksudnya untuk mengambil keris Kanjeng Sunan, Nyi Lurah bersikeras tidak mau menyerahkan keris tersebut. Karena merasa tidak mendapat sambutan yang baik atas niatnya, akhirnya sang murid berencana untuk diam-diam mengambil keris pusaka di rumah Nyi Lurah. Pada suatu malam, murid tersebut memasuki rumah Nyi Lurah dan berhasil menggambil keris. Namun, Nyi Lurah telah menyadari bahwa keris pusaka telah dicuri. Serta merta seluruh warga desa berbondong-bondong mengejarnya. Kejar mengejar ini berlangsung sangat jauh hingga mencapai daerah Lamongan.

Hingga dia terjebak pada sebuah jublangan/kolam yang di dalamnya penuh dengan Ikan Lele yang memiliki pathil yang mematikan. Sementara, dari kejauhan terlihat para penduduk yang semakin dekat menuju ke arahnya dan tidak ada jalan lain selain menyeberangi kolam Lele di depannya. Namun dengan keyakinan hati dan memohon perlindungan kepada Allah, akhirnya diapun menceburkan diri ke dalam kolam penuh Ikan Lele. Ternyata tak satupun Ikan Lele menyerangnya bahkan dengan tenang dia bisa menyelam dengan ikan-ikan lele berkerumun di atasnya.

Karena melihat banyak Ikan Lele berenang di atas kolam maka penduduk menganggab bahwa si pencuri tersebut tidak mungkin bersembunyi di kolam penuh Ikan Lele yang memiliki pathil yang sangat mematikan. Warga desa yang mengejarnya itu pun mengalihkan pencariannya ke tempat lain. Setelah itu menyembullah sang murid ke permukaan kolam. Dengan mengucap puji syukur kepada Allah dan lagi-lagi dia berujar bahwa anak, cucu dan keturunannya kelak untuk tidak memakan Ikan Lele, karena ikan tersebut telah menyelamatkan hidupnya. Daerah tempat diucapkannya wasiat tersebut berada di sekitar daerah Glagah Lamongan.

Akhirnya, sang murid berhasil menyerahkan kembali pusakanya pada Kanjeng Sunan. Beberapa cerita mengatakan bahwa murid yang mencuri keris pusaka tersebut bernama Ronggohadi (saat ini menjadi salah satu jalan di Kota Lamongan). Dia adalah orang yang kelak membabat alas Lamongan dan menjadi bupati pertama Lamongan yang bergelar Bupati Surajaya. Hingga saat ini, kebanyakan masyarakat Lamongan di daerah Glagah, tengah kota, atau pesisir, sangat jarang yang makan lele sebagai santapan lauk pauknya apalagi yang berdarah asli Lamongan (ayah dan ibu asli Lamongan).

Mereka khawatir kalau masih ada darah keturunan sang murid Kenjeng Sunan dan takut melanggar sumpah. Meskipun pada umumnya orang sekitar Glagah, Deket dan sekitarnya di era sekarang ini banyak yang beternak ikan lele, namun jarang sekali mereka yang memakan ikan tersebut. Konon, jika ada anak keturunannya yang melanggar sumpah, maka pigmen di area tangan atau tubuhnya akan memudar sehingga warna kulitnya belang-belang hingga menyerupai tubuh Ikan Lele. Wa'allahualam. Namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mempunyai ayah dari luar Lamongan atau tinggal jauh di wilayah Lamongan bagian selatan dan barat.

Sunday 26 October 2014

Mampir di Kota Majalengka



Destinasi perjalanan saya kali ini yaitu ke sebuah kota yang tidak terlalu ramai dan tenar seperti halnya kota atau kabupaten lainnya di Jawa Barat. Karena lokasinya yang mungkin bisa dikatakan kurang begitu strategis seperti Cirebon ataupun Ciamis. Mengapa saya mengatakan demikian?.......Karena ketika akan berkunjung ke Jakarta, paling Anda hanya akan melewati Cirebon dan Indramayu. Begitupun jalur selatan menuju ke Bandung. Bila akan menuju ke Bandung, biasanya Anda akan mengambil jalur selatan melewati Ciamis, Tasikmalaya, dan seterusnya sampai ke Bandung. Nah kota yang saya maksud adalah Majalengka. 

Majalengka adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Barat bagian timur. Berbatasan dengan Indramayu di utara, kabupaten Cirebon dan Kuningan di timur, Ciamis dan Tasikmalaya di Selatan, serta Sumedang di bagian barat. Bagian utara merupakan dataran rendah, diselatan berupa pegunungan, serta di bagian timur ada gunung Ciremai (3.076 m). Gunung tertinggi yang ada di Jawa Barat. Salah satu Gunung yang ingin saya daki....(tapi belum kesampaian ......)
Berbicara tentang wisata di Majalengka tentu banyak sekali tempat-tempat andalannya. Namun hanya beberapa saja yang sempat saya kunjungi karena terbatasnya waktu. Begitu banyak ruang taman terbuka disana yang bisa kita gunakan untuk bersantai sambil ngobrol bersama teman, salah satunya yaitu taman dirgantara. Tepat berada di tengah-tengah taman terdapat monumen pesawat terbang, yang konon pernah ada pengunjung yang memotret anaknya disana lalu di dalam fotonya terdapat penampakan anak gadis memakai baju putih dengan rambut terurai. Padahal sebelumnya tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua (bapak dan anak laki-lakinya). Karena penasaran maka saya minta teman saya memotret saya disana, dan ternyata sang gadis berbaju putih dengan rambut terurai tersebut tidak mau menampakkan wujudnya di foto digital saya....hehe....sebenarnya merinding juga sih.....
 
Selesai menikmati malam di taman dirgantara kami lanjutkan ke sebuah warung tongseng kambing yang cukup terkenal di Majalengka. Namanya adalah warung makan Pak oyi..... Kami memesan tongseng dan sate kambing, dan setelah menunggu beberapa saat pesanan kami datang, tak sabar segera ingin mencobanya, ternyata memang maknyus......(hehe...kayak pak Bondan aja)
Sekian dulu catatan perjalanan saya di kota Majalengka....sampai ketemu di lokasi lain yang tentunya tidak akan kalah menariknya.....