Tuesday 17 December 2019

Balada Tugas di Indonesia Timur


Hampir 1,5 bulan ini saya berkeliling di wilayah Indonesia Timur, setidaknya ada 12 Pulau yang yang saya singgahi secara estafet, antara lain :

Pulau Sulawesi
Pulau Buton
Pulau Muna
Pulau Wangi-wangi
Pulau Ternate
Pulau Tidore
Pulau Halmahera
Pulau Morotai
Pulau Bacan
Pulau Sula
Pulau Ambon
Pulau Buru

Tentunya banyak pelajaran, pengalaman serta hal-hal baru saya alami selama perjalanan. Dan yang paling membuat saya beradaptasi adalah soal waktu.

Bagi kami yang bertugas di Indonesia timur serasa mempunyai waktu kerja lebih lama dibanding dengan rekan-rekan yang ada di Indonesia Barat. Memang kita ketahui bahwa Indonesia di bagi menjadi 3 zona waktu yaitu Waktu Indonesia Barat, Waktu Indonesia Tengah dan Waktu Indonesia Timur. Bagi kami di Indonesia Timur mempunyai selisih waktu 2 jam lebih cepat dibanding Indonesia Barat.

Kembali ke soal waktu kerja lebih lama, jadi begini ketika di Indonesia Timur pukul 08.00 kami sudah berada di Kantor dan melakukan aktivitas, sementara kawan-kawan di Indonesia Barat mungkin baru bangun dan lanjut mandi karena masih pukul 06.00 pagi, hehe....

Misal kita kirim laporan dan lain-lain ke teman-teman di Indonesia Barat, ya jelas belum ada yang baca. Saat di Indonesia Timur sudah jam 17.00 dan giliran waktunya kita pulang kerja, teman-teman di Indonesia Barat mungkin lagi semangat-semangat nya karena masih jam 15.00.

Dan kerap kali kami baru menerima respon email dan telepon saat kami sudah mandi dan pulang kerja. Jadi rasanya tidak lagi 8 jam kerja, bisa lebih.

Ya itu memang sebuah resiko dari adanya perbedaan waktu di Indonesia. Namun saya percaya bahwa segala sesuatu itu pasti ada sisi positifnya. Ya paling tidak kami di Indonesia Timur lebih awal melihat matahari dan tentunya aktifitas kami yang lebih dulu akan membawa dampak dalam segala hal...Aamiin....😊😊😊

Sunday 15 December 2019

Napak Tilas Sisi Gelap Bangsa Indonesia di Pulau Buru


Ibarat menyusuri sejarah kelam bangsa Indonesia, saya berkendara sejauh 45 KM dari kota Namlea menuju unit-unit yang ada di Pulau Buru. Ditemani terik matahari yang memancarkan sinar dengan dosis lebih dari biasanya.

Bukit-bukit gundul yang beraroma sangit karena terbakar bagian bawahnya, seolah menjadi perfum tersendiri yang bisa saya rasakan.

Kanan kiri tidak ada rumah, hanya semak belukar dan dahan kering berserakan disepanjang perjalanan.

Sampai kawan saya memberhentikan kendaraannya di Unit pertama atau yang saat ini diberi nama Desa Savana Jaya. Saya menemui seorang kawan yang lahir di Pulau Buru, namanya Lukman. Orang tua nya berasal dari Jawa Timur dan mengikuti program transmigrasi di tahun 70 an.

Saya dan teman saya disambut dengan hangat. Kami ngobrol santai bertiga di teras rumahnya. Dia menceritakan beberapa kondisi masa kecilnya di Pulau Buru. Obrolan kami berselancar ke mana-mana sampai hujan turun dengan derasnya.

Karena belum bisa meneruskan perjalanan saya pun menunggu sampai hujan reda. Tak lama kemudian langit sudah mulai cerah kembali. Dan kami melanjutkan perjalanan ke beberapa unit lainnya, antara lain Unit 14, Waitele, Waikerta, Wanareja, Wanakarta dan Mako.

Saat memasuki Desa Wanakarta, Kecamanatan Waeapo. Saya menjumpai sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila.


Saya berhenti sejenak untuk mengambil beberapa dokumentasi sambil menggali informasi dari rekan saya, siapa sebenarnya sosok yang ada di patung ini ?

Konon patung ini bukan hanya untuk menghormati Pelda Panita Umar, tetapi lebih dari itu, patung ini ternyata juga sebagai catatan hitam. Begitu jasad Panita ditemukan tewas dengan tangan terputus, maka tanpa penyelidikan, hari itu juga segera saja 12 orang tahanan politik penghuni barak Unit 5 diciduk.

Empat orang ditembak mati, sisanya berhasil melarikan diri,  tetapi empat orang kemudian juga ditemukan mati di Namlea. Sedang sisanya lagi yang empat orang,  berbulan-bulan kemudian baru ditangkap dan langsung dieksekusi.

Gugurnya Pelda Panita Umar menggetarkan sekitar 12 ribu tahanan politik yang menghuni 20 unit barak penampungan di Pulau Buru. Siapa pun bekas tapol yang saat ini masih hidup, pasti tergetar hatinya apabila ditanya tentang peristiwa itu. Karena perlakuan yang dialami oleh seluruh tapol akibat tewasnya Pelda Panita Umar dirasakan amat luar biasa. 

Sampai saat ini tidak pernah ada penyelidikan mendalam tentang kematian Pelda Panita Umar. Ia dinyatakan gugur saat menjalankan tugas, dan patungnya bisa dilihat oleh siapapun yang melintas di jalan raya penghubung  Kabupaten Buru dengan Kabupaten Buru Selatan.

Patung tersebut memang sengaja tidak diberi tangan dan kaki, yang mana sama dengan kondisi Pelda Panita saat ditemukan mayatnya dimana tangan dan kaki nya terpotong.


Wednesday 11 December 2019

Ngopimu Kurang Pait, Dolenmu kurang Adoh


Akhir-akhir ini sering kita jumpai tulisan "Ngopimu kurang pait, Dolanmu kurang adoh”, atau dalam bahasa Indonesia artinya "Minum kopi mu kurang pahit, Main mu kurang jauh", baik di kolom komen media sosial atau sekedar kiriman pesan pendek antar kawan.

Kalau saya boleh memaknai sebagian kata-katanya bahwa sebuah perjalanan jauh itu akan membawa dampak spiritual dan pendewasaan terhadap seseorang.

Kita bisa merunut bahwa mayoritas ahli hikmah, filosof dan ilmuwan baik dalam tradisi Islam, Asia dan Barat merupakan para "pejalan".

Mungkin teman-teman juga pernah menonton film seri Sun Go Kong yaitu tokoh utama novel perjalanan ke barat yang menemani biksu Tong  dalan perjalanannya mencari kitab suci. Di film tersebut juga dikisahkan bagaimana tokoh-tokoh tersebut berproses belajar dari sebuah perjalanan.

Meskipun jika kita cermati, dewasa ini ada perbedaan kentara kualitas dan makna "perjalanan" yang dimaksud terkait dengan kegiatan berpikirnya hati. Secara singkat, saya berani bilang modernitas adalah sebabnya.

Sebelum tiba masa modern, perjalanan dari Jawa ke luar Jawa misalnya, membutuhkan waktu berhari -hari hingga berbulan-bulan.

Waktu yang lama dalam menempuh waktu perjalanan tidak bisa tidak, dipenuhi oleh kegiatan berpikir dan perenungan. Merenungi hal-hal baru, melakukan diferensiasi, dan mengkontraskan fakta baru dengan fakta lama.

Sementara itu, masa modern meningkatkan efektivitas dan secara perlahan mengubah makna perjalanan menjadi semacam katarsis, tidak spirituil dan lebih semacam gaya hidup atau "main-main belaka".

Tidak heran jika orang yang hidupnya banyak melakukan perjalanan secara mandiri dengan jarak tempuh yang lama, memiliki kualitas pemahaman hidup dan kejiwaan yang sama sekali berbeda dengan yang tidak melaluinya.

Mungkin seperti itu lah makna tulisan “Ngopimu kurang pait, Dolanmu kurang adoh” menurut saya, hehe...

Dan kali ini saya ngopi pahit tanpa gula di Pulau Bacan dengan jarak 1.792 KM dari rumah saya di Sidoarjo, agar tau bahwa hidup ini tidak selamanya manis, saya pilih lokasinya lumayan jauh dari rumah agar saya bisa belajar dari proses perjalanannya yang jauh. Ahay.....😁




Sunday 8 December 2019

Kapal Tidak Jadi Berlayar dari Sanana ke Ternate


"Manusia hanya bisa berencana namun Tuhan yang menentukan", mungkin kalimat itu yang paling tepat atas kejadian yang menimpa saya hari ini.

Pagi pukul 07.00 WIT saya sudah bersiap untuk sarapan, mengemasi barang-barang dan bersiap untuk check out dari hotel tempat saya menginap di Kota Sanana, Maluku Utara. Karena sore nanti saya akan berlayar menuju Ternate dan dilanjutkan dengan penerbangan ke Pulau Bacan.

Kapal Permata Obi yang secara jadwal akan berlabuh di Sanana diperkirakan tiba pukul 15.00 WIT. Pelayaran akan ditempuh dalam waktu 14 jam. Jadi sekitar pukul 06.00 WIT keesokan harinya kapal akan tiba di Ternate.

Pukul 10.00 WIT kawan saya pergi ke pelabuhan untuk membeli tiket, karena tiket tidak dijual online, namun harus datang langsung ke pelabuhan dan waktu belinya juga pas hari H keberangkatan.

Sekitar pukul 10.30 WIT kawan saya menelpon, "Kakak....jangan marah ya ! Kapal Permata Obi seng jadi datang, kata petugas kapal sedang diperbaiki di Ambon". Waduh, bagaimana dengan tiket pesawat ke Bacan yang sudah saya beli ya ? Akhirnya saya berusaha tenang, saya tarik nafas agar bisa berfikir jernih.

Saya pikir dipaksakan pun saya tidak akan tiba di Ternate hari Senin, karena memang tidak ada sarana transportasi apapun yang bisa saya pilih selain lewat jalur laut.

Saya coba menghubungi call center maskapai, saya jelaskan permasalahan yang saya alami. Dan mereka pun bisa melakukan perubahan jadwal pesawat saya ke bacan menjadi mundur satu hari, walaupun ada biaya yang harus dibayar.

Setelah urusan tiket selesai baru saya koordinasikan dengan hotel dan beberapa pihak terkait atas keterlambatan ini. Jadi saya harus tinggal satu hari lagi di Kota Sanana, Maluku Utara.

Wednesday 4 December 2019

Ekspedisi Pulau-pulau di Maluku


Mengawali Minggu 01 Desember 2019, saat saya terbangun dan menoleh ke arah jendela berbentuk agak oval, di bawah sana terhampar gumpalan awan strato cumulus laksana kapas mengapung di angkasa. Ingin rasanya saya menyentuh untuk merasakan sensasi kelembutan dan membasuhkannya ke mukaku yang terasa penat, karena nyaris semalaman tidak tidur.


Hanya sesekali mataku terpejam, namun tidak bisa merasakan tidur yang sesungguhnya, karena posisi kursi yang berada di belakang pintu darurat, tidak bisa digerakan ke belakang untuk mengatur posisi yang nyaman. Jadi selama empat jam penerbangan Surabaya menuju ke Ternate saya harus duduk dengan tegak seperti postur tubuh anggota militer, termasuk saat mataku mulai terpejam diliputi rasa kantuk dan lelah, karena telah menjalani hari demi hari dengan kegiatan yang sangat padat.

Selama kurang lebih satu bulan saya berada di Sulawesi Tenggara untuk menyelesaikan tugas dari kantor dan dilanjutkan dengan kunjungan ke Maluku.

Pukul 14.45 Waktu Indonesia Timur (WITA), awak pesawat yang saya tumpangi mengumumkan bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat, penumpang dimohon untuk memasang sabuk pengaman, melipat meja di bagian depan tempat duduk, dan menegakan sandaran kursi.

Saya tersenyum kecut, kerena sejak memulai penerbangan, sandaran kursiku sudah tegak pernamen dan menyiksaku selama empat jam. Ketika pesawat mulai menurunkan ketinggian, kemudian mengambil posisi miring dan memutar, dari balik jendela saya bisa melihat samar-samar 2 gunung tinggi yang saling berdekatan yaitu Gunung Gamalama dan Gunung Tidore.

Selama proses pendaratan pesawat, berkecamuk perasaan di dada, dalam rentang panjang pengalaman mendarat di berbagai wilayah baru, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Terselip perasaan syukur ternyata sampai dengan detik ini masih diberikan kesempatan merasakan nikmat sehat dan bisa mengunjungi tempat-tempat yang indah di Indonesia.

Dan kunjungan saya ke Maluku kali ini, pastinya akan seru dan menyenangkan. Karena saya akan berkeliling di hampir semua pulau di Maluku.