Monday 31 October 2016

Palangkaraya dan Ide Bung Karno tentang Ibu Kota Negara


Beberapa waktu lalu, saya sempat mengunjungi sebuah kota yang dulu oleh Bung Karno pernah digadang-gadang akan menggantikan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Kota tersebut bernama Palangkaraya. Lantas seperti apa keistimewaan kota ini sehingga namanya sempat mencuat kepermukaan menggantikan Jakarta. Menurut Bung Karno secara geografis, Palangkaraya yang berada di Kalimantan terletak di titik tengah Indonesia, dari segi pertahanan Palangkaraya dinilai paling pas menjadi sentra pemerintahan, daratannya yang luas sangat bagus menjadi buffer atau benteng pertahanan. Selain itu Kalimantan tidak berada dalam gugusan gunung api, tidak ada gunung api aktif yang dapat membahayakan warga saat meletus. Pulau Kalimantan juga aman dari bencana gempa bumi dan tsunami karena letaknya jauh dari Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik.

Ya memang sih, kalau kita lihat saat ini Jakarta dianggap kelebihan muatan untuk menampung aktifitas sebagai pusat pemerintahan. Faktor penyebabnya adalah padatnya jumlah penduduk dan juga masalah kronis kota yang belum ditemukan solusinya. Diantaranya adalah banjir yang menjadi bencana musiman saat musim hujan tiba setiap tahunnya. Selain itu tingkat kemacetan di Jakarta juga semakin parah sehingga keadaan ini dapat mengganggu kelancaran aktifitas pemerintahan.


Akan tetapi saya pernah membaca sebuah tulisan yang cukup menarik yang menyebutkan bahwa dunia akan berada dalam keadaan bahaya jika ibu kota Indonesia jadi dipindah ke Palangkaraya. Alasannya adalah Kalimantan merupakan paru-paru dunia. Dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Kalimantan diharapkan mampu menjaga keseimbangan alam sebagai pemasok udara segar. Bayangkan jika ibu kota jadi pindah, tentu akan diikuti pula dengan eksodus penduduk Pulau Jawa ke Kalimantan. Mereka akan membangun pemukiman dengan menebangi hutan-hutan yang ada. Sudah menjadi hukum alam, jika pusat pemerintahan akan menjadi pusat rejeki pula bagi manusianya. Apalagi jika nantinya akan dibangun gedung-gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di pulau tersebut. Plus pertambangan yang terus merangsek ke area hutan, bisa diperkirakan dalam waktu dekat kita akan kekurangan udara segar. Hal yang selama ini menjadi barang gratis sebagai bentuk karunia Tuhan, haruskah kita korbankan?

Nah kalau menurut saya seandainya Ibu Kota Negara jadi dipindahkan, harapan saya sebagai rakyat kecil agar segala sesuatunya dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan matang agar tidak salah dalam mengambil keputusan.

Sunday 30 October 2016

Museum Monumen Pangeran Diponegoro Yogyakarta


Ada cerita menarik dari teman saya saat gurunya sedang memberikan tips agar mudah menjawab soal apabila ditanya kapan perang Diponegoro berlangsung, jawabannya adalah saat menjelang adzan Isyak tiba yaitu 1825 s/d 1830 hehe, mendengar penjelasan tersebut sepertinya masuk akal dan cukup menarik untuk ditulis, karena perang Diponegoro sendiri berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan 1830.

Guyonan smart ini saya dapatkan saat melakukan putar balik di Jalan H.O.S Cokroaminoto TR III/ 430 Tegalrejo, Yogyakarta. Sepintas terlihat tulisan museum di sebelah kiri jalan. Setelah berdiskusi sebentar dengan kawan-kawan akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi gedung yang konon dulunya adalah kediaman pangeran Diponegoro tersebut.

Sayang saat kami berkunjung, Museum Monumen Pangeran Diponegoro sudah tutup. Namun berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai sumber bahwa di dalam ruang pamer terdapat bermacam koleksi antara lain uang koin, batu akik, tombak, keris, pedang, panah, bandil, patrem (senjata prajurit perempuan), dan candrasa (senjata tajam berbentuk mirip tusuk konde) biasa digunakan oleh telik sandi (mata-mata) kerajaan. Sedangkan sejumlah alat rumah tangga buatan tahun 1700-an terbuat dari kuningan, terdiri dari tempat sirih dan kecohan, canting (alat membatik), teko bingsing, bokor serta berbagai bentuk kancip (alat membelah pinang), tertata dengan rapi.

Di dalam Museum juga terdapat sebuah tembok yang jebol di bagian barat puri. Konon dulu pada tanggal 20 Juli 1825 tentara Belanda menyerang kediaman pangeran Diponegoro. Pasukan Belanda mendesak masuk lewat arah utara, timur, dan selatan puri. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan Pangeran Diponegoro untuk menyelamatkan diri adalah menjebol tembok bangunan. Pemandangan yang tidak biasa ini hanya terdapat di Museum Pangeran Diponegoro, tembok bagian barat menjadi “lubang waktu” yang menghubungkan masa kini dan masa lalu.

Peninggalan Pangeran Diponegoro lainnya adalah padasan (tempat air wudhu) di depan pendopo serta batu comboran (tempat makan dan minum kuda) di bagian tenggara pendopo.


Sekilas tentang Pangeran Diponegoro :

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama RA Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Kedhaton, Raden Ayu Ratnaningsih, dan Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.


Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.


Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.


Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

Sumber : Wikipedia