Wednesday 24 July 2019

Menikmati Kapur Sirih Pinang di Papua


Ada yang bilang berkunjung ke Papua tidak mencoba Kapur Sirih Pinang ada yang kurang, karena ketiganya begitu lekat dengan kehidupan orang Papua. Saya pun penasaran ingin mencoba buah favorit orang Papua ini.

"Gigit dulu ujungnya, baru dikupas kulitnya," ungkap kawan saya. Ujung buah pinang agak sulit digigit karena keras. Setelah berhasil menggigit ujung pinang, saya mulai mengupas kulit pinang dan ingin mengambil isinya. Namun, sebelum itu terjadi, kawan saya bilang, "jangan! Harus dimakan dengan kulitnya, itu agar kesat".


Lalu mulailah saya mengunyah pinang bersama kulitnya, "Ludahkan air kunyahan pertama, kedua jangan ditelan, bisa pusing kalau tidak," katanya.

Seusai meludah, kemudian saya mulai menggigit sirih yang telah dicocol kapur. Lama-kelamaan mulut saya mulai memerah.


Lantas bagaimanakah rasa pinang? Jujur saja rasanya tak seperti tebakan awal. Saya kira rasanya akan pahit atau asam. Ternyata rasanya cenderung manis dan segar di mulut.

Sebagai orang yang baru pertama mencoba pinang, saya suka sensasi segar yang muncul saat mengunyah. Namun, dua hal yang begitu sulit saat makan pinang yaitu mengupas kulit pinang dan meludah. Butuh keahlian untuk kedua hal tersebut.

Pinang, menurut beberapa orang Papua memiliki banyak manfaat, di antaranya untuk menguatkan gigi, sedangkan sirih sudah lama dikenal sebagai tanaman obat-obatan. Sementara kapur yang terbuat dari karang atau kulit kerang yang dibakar dan diendapkan fungsinya adalah untuk membuat merah pinang dan sirih yang dikunyah. Ada yang bilang "Kalau tidak merah, tidak sreg," hehe.....

Monday 22 July 2019

Berkesempatan memakai Hiasan Kepala Pakaian Adat Papua

Masyarakat Papua hidup di daerah-daerah yang relatif terisolir. Untuk menuju ke satu tempat ke tempat lainnya harus menempuh jarak yang cukup jauh dengan medan yang berat. Mereka menyebar di dalam penjuru hutan membentuk komunitas adat secara terpisah.

Karena hal ini berlangsung sejak zaman dahulu, perkembangan modernisasi sangat lambat di Papua. Hal ini berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang serba mengandalkan alam, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan sandang.

Dalam pemenuhan kebutuhan akan sandang, hubungan erat masyarakat Papua dan alam dapat dilihat dari pakaian adat tradisional yang mereka kenakan. Pakaian adat Papua dan aksesorisnya secara keseluruhan terbuat dari bahan alami dengan cara pembuatan yang sangat sederhana.

Hari ini saya berkesempatan mencoba hiasan kepala pakaian adat Papua dengan berbagai model. Ada yang dari bulu Kasuari dan ada juga yang dari bulu Cenderawasih. It's Wonderful.....

Memang Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam adat dan budaya. Nah tugas kita sebagai generasi muda adalah melestarikannya.....










Sunday 21 July 2019

Kota Basis Pertahanan Perang Dunia II di Kokas


Sebuah tulisan "Kota Basis Pertahanan Perang Dunia II" terpatri diatas bukit dengan warna putih berukuran besar menghadap ke laut dan akan terlihat oleh siapapun yang datang dari arah laut maupun darat. Semacam tulisan selamat datang bagi siapapun yang datang ke Kokas.

Kokas adalah sebuah kota kecil dengan sejarah panjang yang layak untuk dikunjungi bagi siapa saja yang datang ke Fakfak. Kokas sempat menjadi basis pertahanan perang bagi tentara Jepang saat Perang Dunia II. Disana terdapat sebuah meriam peninggalan Jepang dengan tulisan “Tokyo Maruseko” dipasang di tepi pantai.

Selain itu di Kokas ada sebuah bukit yang di puncaknya terdapat monumen yang menunjukkan jejak-jejak sejarah Perang Dunia II, khususnya pendudukan Jepang di Papua. Di kaki bukit yang hampir seluruhnya dipagar rapi, terdapat beberapa pintu masuk goa yang disebut goa Jepang Kokas. Goa ini saling terhubung dan untuk memasukinya perlu bersama seorang pemandu setempat karena sangat gelap. Dahulu, setiap kapal sekutu yang merapat di perairan Kokas dapat dipantau dengan mudah oleh tentara Jepang melalui goa ini.

Disamping bukit terdapat taman makam pahlawan Trikora yang cukup terawat.

Di depan kota Kokas tampak pulau besar yang disebut Pulau Ugar. Di depan pulau ini ada beberapa pulau kecil yang rupanya mirip dengan pulau-pulau di Raja Ampat. Salah satu pulau kecil ini disebut Pulau Kap dan juga Pulau Krek.


Karena terbatasnya waktu, saya tidak sempat berkunjung ke pulau-pulau tersebut.

Saturday 20 July 2019

Menikmati Ikan Cakalang Asap


Ikan Cakalang Asap Khas Papua adalah menu yang wajib di coba saat berada di Pulau ini. Nggak perlu repot menangkap di laut. Di Pasar Tumburuni banyak dijual. Harganya relatif murah tergantung besar kecilnya. Saya beli yang seharga 20.000 per ekor. Karena ikannya masih segar dan langsung diasap maka rasanya enak banget.

Untuk pendampingnya saya beli cabe, daun kemangi, bawang merah, kecap manis dan jeruk nipis. Kita potong kecil- kecil lalu dicampur dan ditambahkan garam sesuai selera.


Untuk lokasi makan kami memilih di pinggir pantai biar lebih mengena suasananya.  Kata teman saya hmmmm....mantab bangπŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ˜ŠπŸ˜ŠπŸ˜Š.






Friday 19 July 2019

Melihat anak-anak Kampung Pasir Putih, Distrik Fakfak Tengah bermain di Laut


Anak-anak memiliki keunikan dalam caranya memandang dunia. Tidak heran bila mereka begitu mudah bahagia dengan hal-hal sederhana. Anak-anak selalu dipenuhi oleh energi positif yang menguntungkan. Terkadang kita harus memakai kacamata anak-anak untuk menghadapi dunia dengan segala lika-likunya.

Ada yang bilang bahwa Imajinasi anak kecil itu nggak ada habisnya. Dari sana mereka bisa bermain jadi apa saja. Mereka bisa menjadikan barang apa saja sebagai mainan sesuai dengan imajinasi mereka. Imajinasi anak-anak memang nggak terbatas, makanya mereka bisa dengan serunya bermain dengan barang apa saja.

Sore ini terlihat beberapa anak-anak di Kampung Pasir Putih, Distrik Fakfak Tengah sedang asyik bermain di laut. Dalam hatiku hanya berkata, ini baru masa kecil yang indah, anak anak bermain bersama teman-temannya, bukan sibuk dengan gadget ha ha....


Ya memang disini signal hampir tidak ada, kalau mau nyari signal ya harus ke kota Fakfak.

Thursday 18 July 2019

Cerita Perjalanan ke Distrik Kokas Kabupaten Fakfak


Dari kota Fakfak kami melakukan perjalanan ke distrik Kokas dimana ada urusan yang harus saya selesaikan. Perjalanan kami mulai dari kota Fakfak, awalnya masih banyak rumah penduduk di kanan dan kiri jalan, setelah kendaraan berjalan sekitar 5 km, jalan yang kami lewati berubah menjadi hutan belantara tak berbatas. Benar-benar cuma hutan dan tidak ada rumah satupun.


Saya tidak bisa membayangkan kalau terjadi apa-apa di jalan saat malam hari atau saat sepi, siapa yang bisa menolong. Terkadang ada binatang liar seperti babi hutan atau anjing liar melintas di jalan, jadi dalam berkendara harus benar-benar berhati-hati.

Kawan saya yang asli orang Fakfak bercerita tentang kebiasaan orang lokal yang ketika mereka marah, mereka akan menebang kayu besar dan menghalangi jalan aspal. Meskipun marahnya terhadap keluarga sendiri.

Ketika ada kayu besar melintang biasanya motor dan mobil akan  sabar menunggu sampai kayu tersebut disingkirkan. Bisa menunggu sampai berjam-jam, katanya dengan santai. Benar-benar cara marah yang aneh, kata saya. Marahnya ke siapa, efeknya ke orang lain. Tetapi memang begitulah orang Fakfak, sekali marah, tebang pohon besar. Kalau di Jawa ada yang seperti ini pasti sudah heboh masuk berita. Di Fakfak termasuk hal yang biasa saja. Untung saja pas kami lewat pas tidak ada orang marah-marah.....hehe.....


Kendaraan melaju dengan lancar, bebas hambatan dan tanpa macet, memasuki sebuah distrik yang mempunyai sebuah air terjun di pinggir jalan. Kami berhenti sebentar untuk sekedar beristirahat dan foto-foto. Namanya adalah air terjun kayuni. Kami hanya bisa menikmati air terjun ini dari jarak beberapa puluh meter saja.


Setelah sepanjang jalan hanya melihat hutan lebat, akhirnya saya bisa melihat lautan lagi. Sampailah kami di Kokas.


Wednesday 17 July 2019

Semangat Satu Tungku Tiga Batu


Hari ini saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari bumi Fakfak tentang semangat bertoleransi antar umat beragama yaitu berupa prinsip dan semboyan "satu tungku tiga batu".

Prinsip ini merujuk metafora tungku untuk memasak yang ditopang tiga batu. Batu-batu tersebut harus bersama-sama menopang tungku agar tidak terguling.


Istilah tungku tersebut merujuk pada konsep kebersamaan, toleransi, dan harmoni. Interpretasi mendasarnya telah menyebutkan tiga batu yg menjadi penopang di bawahnya adalah simbol tiga agama dengan banyak pemeluk di Kabupaten Fakfak, yakni agama Islam, Katolik, dan Kristen Protestan.

Sudah Sekian Lama, Kabupaten Fakfak adalah wilayah terbuka yang mendapat pengaruh dari kerajaan-kerajaan luar seperti Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore. Seiring interaksi dengan dunia luar, berbagai dokumen yg menunjukkan Islam masuk di Kabupaten Fakfak sejak abad ke 17, disusul Kristen Protestan dan Katolik. Hingga kini ketiga agama tersebut berkembang di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Semangat satu tungku tiga batu ini tak hanya dilembagakan dan dijaga oleh otoritas formal maupun adat setempat. Filosofi ini sudah menjiwai laku kolektif masyarakat.

Dengan semangat satu tungku tiga batu itu, ada pemahaman yang disepakati bersama, satu saudara, satu hati, dan satu tujuan.

Ketika hati kita sudah bersatu, maka selesai semuanya. Di Kabupaten Fakfak, para pemeluk agama yang berbeda-beda telah hidup berdampingan dengan damai, hangat dan Harmonis.



Pendaratan di Kabupaten Fak-fak


Syukur alhamdulillah hari ini pesawat yang saya tumpangi mendarat dengan sempurna di kabupaten Fak-fak. Pesawat dari Sorong berkapasitas 48 tempat duduk yang hanya ditumpangi tak lebih dari 35 orang penumpang membawa kami ke Fakfak. Kota kecil di ujung barat Semenanjung Bomerai, Papua Barat.

Pesawat yang terbang relatif rendah itu membuat kami dapat dengan jelas melihat pemandangan di bawahnya; laut, pantai, pulau-pulau, liku-liku sungai, teluk dan tanjung di wilayah "kepala burung". Terlebih karena saya duduk di sebelah jendela jadi lebih mudah untuk menikmati panorama dari atas.

Setelah hampir satu jam terbang, kami pun tiba di Bandara Torea, Fakfak. Sederhana, namun tetap ramah. Dan yang saya suka, di bandara itu saya dapat "berkeliaran" kemana saja untuk berfoto atau sekedar melihat-lihat, tanpa larangan ini-itu. Tidak seketat aturan di bandara-bandara lain.


Pusat Kota Fakfak terletak tak jauh dari Bandara Torea. hanya memakan waktu 15 menit berkendara, saya pun tiba di Kota Batu, julukan bagi Kota Fakfak karena kontur tanahnya yang berbukit-bukit dan berbatu.

Pusat kota Fakfak berupa teluk yang menghadap ke Barat dan di kelilingi oleh bukit. Sebuah pemandangan kota yang menarik. Dari puncak bukit yang mengelilingi kota, kita dapat memandang seluruh bagian kota dan laut di depannya. Jalan yang berliku serta menanjak dan menurun, bangunan-bangunan yang seakan menempel di dinding bukit menjadi pemandangan yang khas di Kota Fakfak.

Seperti kebanyakan bangunan-bangunan lain di Fakfak, hotel tempat saya menginap pun berada di tebing. Reception menyambut kedatangan saya dengan ramah. Setelah selesai Check in, saya meletakkan tas dan langsung tancap gass...( menyelesaiakan target pekerjaan maksudnya ...hehe...) maklum waktu yang disediakan di kota ini tidak begitu lama. Jadi saya harus benar-benar memperhitungkan timeline nya.

Wokey....saya rasa cukup coretan untuk hari ini, besuk kita sambung lagi dengan cerita tentang Fak-fak lainnya.


Tuesday 16 July 2019

Berkunjung ke Kota Senja Kaimana


Saat memasuki Kaimana di Bandara Utarom, kesan awal yang saya miliki adalah bandara yang cukup lenggang jika di bandingkan dengan Bandara Domine Eduard Osok, di Sorong. Terdapat tulisan besar di Bandara "Selamat Datang di Kota Senja Indah Kaimana". Dari situ saya teringat tembang kenangan yang dipopulerkan oleh penyanyi lawas Alfian yang berjudul Senja di Kaimana, sebuah lagu era tahun 1960-an yang mendeskripsikan betapa indahnya pemandangan senja di Kaimana. Walaupun saya belum melihat keindahan senja nya dengan mata kepala sendiri namun saya yakin sebuah tulisan ditulis bukan tanpa maksud.

Senja yang selama ini saya pahami sebagai semburat jingga di ufuk barat penanda pergantian siang menjadi malam ternyata tidak sesederhana itu. Bagi orang Kaimana, senja adalah penanda pergantian siang menuju malam dengan pendar warna jingga sempurna yang memenuhi bentang dan ujung langit di ufuk barat. Langit penuh dengan warna jingga dengan sisa matahari di batas cakrawala.

Tetapi sayangnya senja di Kaimana itu ada musimnya, menurut orang Kaimana. Pada musim-musim tertentu senja yang indah tidak akan muncul, senja di Kaimana muncul ketika siang hari hujan deras yang telah menyibak awan untuk menjadi warna jingga sempurna yang memenuhi langit dan batas cakrawala di ufuk barat. sehingga tidak berlebihan bila secara khusus, Alfian mengabadikan senja indah itu dengan sebuah lagu.

Saat masih kecil, ketika mendengarkan tembang lawas ini imajinasi saya secara geografis tidak tahu dimana letak Kaimana. Nama kota ini sudah terdengar akrab di telinga saya gara-gara Alfian yang telah menasionalisasikan lagu hingga terkenal di seantero Indonesia. Konon katanya lagu ini sebenarnya punya kepentingan politis.

Presiden Soekarno secara khusus mengutus Alfian untuk mengunjungi Kaimana pada tahun 1963 dan mengabadikannya dalam sebuah lagu cinta karena dengan cinta kita dapat merangkul kemanusiaan lebih baik agar orang Kaimana merasa menjadi bagian Indonesia dan bagi orang Indonesia lainnya merasa Kaimana sebagai bagian dari Indonesia. "Nasionalisasi" lewat lagu cinta memang efektif  untuk membuat "mereka" menjadi "kita".

#WelcometoKaimana



Menapakkan kaki di Papua


Ada rasa bangga dan cemas saat pertama kali menapakkan kaki di Pulau Papua.

Rasa bangga karena dengan berada di pulau ini berarti saya sudah pernah berada di pulau paling timur Indonesia dan setidaknya sudah mengunjungi semua pulau besar di tanah air, sekaligus mencatatkan bahwa ini adalah pulau ke-57 yang sudah tersinggahi di nusantara.

Rasa cemas karena saat berada di pulau ini artinya saya akan dihadapkan pada ancaman binatang endemik nyamuk malaria yang sewaktu-waktu bisa menyerang. Dan juga beberapa isu kerusuhan antar suku yang kerap kali muncul.

Namun saya yakin semua itu akan bisa teratasi atas ijin dari Allah SWT.

Memiliki spesifikasi bidang pekerjaan yang kerap kali berpindah dari satu tempat ke tempat lain, membuat saya terbiasa dengan banyak hal baru saat di lapangan yang tentunya akan menjadikan pengalaman tersendiri bagi saya.

Untuk memasuki Pulau Papua, gerbang yang saya pilih adalah Bandara Domine Eduard Osok di Kota Sorong. Dari kota ini saya akan memulai perjalanan ke beberapa kota di Papua.

#WelcometoPapua

Saturday 6 July 2019

Menanti Senja di Pantai Nirwana Bau-bau


Semburat jingga menghiasi langit biru saat saya tiba di Pantai Nirwana Kota Bau-bau. Di ufuk barat, mentari meluncur perlahan lalu tenggelam di balik horizon di laut lepas.


Senja indah ini menutup Jumat 5 Juli 2019. Suatu hari yang cukup padat karena saya harus menyelesaikan banyak aktifitas dan sekaligus mengakhiri kunjungan saya di Negeri Seribu Benteng. Sebuah tempat yang indah yang patut untuk di publikasi.


Bagi anda yang berkesempatan menginjakkan kaki di Pulau Buton, saya sarankan untuk datang ke Pantai Nirwana. Selain pemandangannya yang indah, pantainya juga bersih.


Lokasinya tidak jauh dari Kota Bau-bau, hanya berkendara dengan menggunakan mobil atau motor sekitar 15 menit dari pusat kota. 








Pantai Katembe Buton Tengah

Mungkin memang benar yang orang katakan, Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan Indonesia dan seisinya. Saat melihat keindahan Pantai Katembe sepertinya serpihan surga itu benar jatuh di sini.

Pantai Katembe memiliki panorama yang dapat memanjakan mata siapa saja yang berkunjung.

Pantai ini berlokasi di Desa Madongka Kecamatan Lakudo, Buton Tengah. Untuk menuju ke pantai ini kalau dari Surabaya harus naik pesawat ke Bau-bau lalu menyeberang ke Pelabuhan Waara di Pulau Muna. Dan dilanjutkan dengan perjalanan darat sekitar 15 KM ke arah Lombe.






Wednesday 3 July 2019

Mengunjungi Desa Tapi-tapi, Kecamatan Marobo, Kabupaten Muna


Sore itu saya harus menyeberangi lautan dengan melawan badai untuk sampai di desa Tapi-tapi. Sebuah desa terapung yang masuk di wilayah Kecamatan Marobo, Kabupaten Muna. Penduduk desa ini merupakan perpaduan dari Etnis Muna, Bugis dan Bajo.


Kedatangan saya dalam rangka tugas untuk menemui salah satu penduduk yang ada disana. Perjalanan ke Desa ini sangatlah menantang. Dengan ditemani hujan sepanjang perjalanan, saya harus menempuh jarak 68 KM  dari Pelabuhan Waara menuju Pelabuhan terdekat di Desa Tapi-tapi via darat, lalu disambung dengan perjalanan Laut kurang lebih 30 menit dengan menggunakan kapal yang berukuran sangat kecil.


Awalnya saya ragu apakah benar ada penduduk yang bermukim ditengah laut. Ternyata setelah sampai di tujuan saya baru percaya ternyata ada kehidupan  layaknya di daratan.


"Selamat sore pak...ada yang bisa dibantu ?", sapa remaja dari balik pintu menyapa saya. Saya langsung menjelaskan bahwa saya ingin bertemu dengan Pak Ramdin. Ternyata remaja tersebut adalah anak dari orang yang ingin saya temui. Dia langsung memanggil ayahnya dan mempersilahkan saya masuk kerumah.


Setelah bertemu Pak Ramdin, saya membicarakan maksud kedatangan saya, sambil bercerita saya juga bertanya sudah berapa lama Pak Ramdin tinggal di rumah diatas laut ini ? Beliau menjawab bahwa sudah tinggal bersama keluarganya sekitar 20 tahun.

Wao sudah cukup lama juga ya....kalau saya berada disini 30 menit saja rasanya perut sudah kembung karena angin lautnya sangat terasa. Selain itu suara deburan ombaknya juga cukup berisik.


Tapi dari sini saya mulai belajar bahwa masing-masing dari kita mempunyai kemampuan yang berbeda sesuai dengan anugerah dari Tuhan.