Tuesday 5 January 2016

Nyadran dan Makam Kyai Ageng Pranggang



Saat kecil saya pernah tinggal di sebuah dusun yang tidak begitu ramai, setiap tahun penduduknya selalu mengadakan tradisi budaya yang disebut dengan “Nyadran”. Masyarakat berbondong-bondong datang ke makam sambil membawa berbagai makanan. Sesampainya di makam masyarakat berkumpul dan dipimpin oleh seorang tokoh untuk berdoa bersama, salah satu doanya yaitu untuk keselamatan seluruh penduduk dusun dari segala bentuk bencana dan mara bahaya. Selain itu masyakat juga mendoakan agar “Sing Mbau Rekso” atau “Sing Mbabat Alas Deso” diampuni dosa-dosanya. Mungkin diantara rekan-rekan ada yang bertanya tentang istilah “Sing Mbau Rekso” atau “Sing Mbabat Alas Deso”, yang jelas dalam bahasa Indonesia artinya leluhur yang pertama kali menghuni desa.

Selesai berdoa makanan tersebut dimakan bersama-sama. Lalu acara dilanjutkan dengan membersihkan makam leluhur masing-masing. Kurang lebih seperti itu tradisi yang masih terekam di otak saya. Sudah begitu lama saya tidak mengikuti tradisi tersebut. Dan beberapa hari yang lalu saya berkesempatan mengunjungi kembali dusun tempat saya tinggal dulu. Maksud kedatangan saya kesini tidak lain adalah untuk ziarah ke makam kakek. Seperti kaset yang diputar kembali. Memori saya tiba-tiba teringat tradisi tersebut. Rasa penasaran mulai timbul, karena saya rasa budaya nyadran tidak hanya ada disini saja melainkan dilokasi lain di tanah Jawa juga ada.

Dan berawal dari situ mulailah saya menggali dari berbagai sumber.  Konon budaya Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha. Sejak abad ke-15 para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima.  Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam dinilai musrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelasraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa. Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.

Selain itu sebenarnya masih ada hal lain yang membuat saya penasaran sampai dengan saat ini, yaitu tentang keberadaan makam Kyai Ageng Pranggang yang mana didusun kami disebut sebagai Sing Mbau Rekso atau Sing Mbabat Alas Deso. Apakah kyai Ageng Pranggang adalah tokoh yang sama dengan yang ada di cerita Kebo Kicak?  sampai saat ini belum diperoleh sumber yang jelas. Andai memang Kyai Ageng Pranggang adalah tokoh yang sama di dalam lakon kebo kicak. Pastinya beliau adalah orang yang sakti mandraguna. 
 
 
Mungkin itu sedikit yang bisa saya tulis, hanya sedikit berbagi kisah masa lalu....oh iya...dusun kami bernama dusun Pranggang. Secara teritorial tepatnya berada di Desa Brambang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.



No comments:

Post a Comment