"Tegal Laka-Laka"....awalnya saya penasaran dengan
kata-kata ini, ketika saya berkunjung ke Tegal baru saya ketahui, bahwa Laka-laka
(bahasa Tegal) artinya jarang ada atau langka. Kalau diterjemahkan secara
harfiah artinya jarang ada jarang ada atau langka-langka.
Tetapi demikianlah uniknya bahasa Tegal.
Perulangan kata; laka yang pertama dimaksudkan sebagai pokok ungkapan,
kemudian kata laka kedua merupakan penegas/penyemangat. Kata laka-laka
juga berarti; bukan main, hebat, top, luar biasa, sebagai bentuk ungkapan
memuji (rasa kagum) terhadap sesuatu hal.
Sebelumnya juga pernah populer slogan Tegal Keminclong
Moncer Kotane, slogan yang sebenarnya sudah bagus. Tetapi mau berapa pun
slogan itu dibikin tidaklah penting benar, yang penting adalah konsistensinya.
Sebagaimana konsistensi Tegal tempo doeloe, Tegal yang disimbolkan
sebagai banteng loreng ginoncengan bocah angon.
Simbol banteng loreng adalah gambaran watak orang
Tegal yang keras hati dan teguh pendirian, ginoncengan (dibonceng) bocah
angon (anak gembala) artinya; betapapun keras watak orang Tegal, ia akan
menjadi luluh/lembut bila berhadapan anak gembala sekalipun, asal tahu cara
mengambil hatinya. Bocah angon melambangkan si kecil/rakyat kecil yang lugu dan
jujur.
Adipati Martoloyo adalah simbol watak pemimpin
Tegal yang tegas, keras hati, teguh pendirian, yang meletakkan nilai kebenaran,
kejujuran dan harga diri di atas segalanya. Kekuasaan bagi Martoloyo adalah
martabat, kekuasaan tanpa martabat adalah pecundang.
Karena tidak ingin jadi pecundang kekuasaan,
Martoloyo memilih mati demi harga diri. Brubuh Martoloyo-Martopuro merupakan
antiklimaks dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan harga diri itu.
"Sekali berarti, setelah itu mati!" (pinjam puisi Chairil Anwar)
barangkali itulah sikap Martoloyo selaku penguasa Tegal waktu itu.
No comments:
Post a Comment