Saturday 9 July 2016

Ziarah ke Makam Waliyah Zainab

Joglo di depan makam Waliyah Zainab

Selain wisata yang berbasis alam ternyata Pulau Bawean mempunyai segudang wisata religi dan spiritual. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya petilasan dan makam yang ada di pulau ini. Pada kesempatan kali ini saya ingin menceritakan makam Waliyah Zainab yang berada di desa Diponggo, Kecamatan Tambak, Bawean.
Sebelum saya bercerita lebih lanjut mungkin sebagian ada yang bertanya siapa sebenarnya sosok Waliyah Zaenab tersebut. Dari beberapa referensi yang sempat saya baca Waliyah Zainab pada masa kecilnya bernama Dewi Wardah, putri Kiai Ageng Bungkul, salah seorang Pembesar Kota Surabaya keturunan Raja Majapahit. Dewi Wardah dinikahi oleh Raden Paku (Sunan Giri), tetapi Raden Paku sudah lebih dulu menikahi Dewi Murtasiyah puteri dari Sunan ampel. Karena Dewi Wardah tidak ingin di madu, maka beliau pergi berlayar ke arah utara dengan menaiki “Sentong” atau kelopak bunga kelapa. Maka sampailah beliau di sebuah pulau disebelah utara laut Jawa yang kita kenal dengan Pulau Bawean. Konon beliau mendarat tepat di pesisir pantai Desa Komalasa, dan kemudian beliau mengganti namanya dengan Siti Zainab. Kedatangan Siti Zainab di sambut dengan tidak sepenuh hati oleh masyarakat setempat. Karena beliau dianggap wanita yang bepergian seorang diri dan mengenakan pakaian compang - camping. Pada saat itu segenap masyarakat Komalasa sedang dilanda wabah penyakit kulit yang banyak menjangkit para masyarakat Komalasa. Kedatangan Waliyah Zainab di pesisir pantai Komalasa di ketahui sejumlah masyarakat setempat, melihat penampilah Siti Zainab yang compang - camping, masyarakat Komalasa beranggapan bahwa beliau lah yang membawa penyakit kulit tersebut.

Maka masyarakat Komalasa dengan ramai - ramai megusir beliau untuk pergi dari Komalasa, lalu Waliyah Zainab segera pergi dengan hati yang sedih ke atas pegunungan untuk bersembunyi, dengan hatinya yang sedih beliau pergi meninggalkan Desa Komalasa karena beliau merasa tidak diterima oleh masyarakat Komalasa. Dengan menyusuri pegunungan, ngarai, sawah dan sungai akhirnya beliau beristirahat sejenak di dusun Pedalaman Lebak. Waliyah Zainab terus berjalan kearah timur mencari air untuk di minum karena beliau sangat haus, tapi yang menyakitkan ketika beliau sampai di dusun Sungairaya beliau meminta air minum, namun tak ada yang sudi untuk memberinya. Karena beliau merasa marah, beliau berkata dalam hatinya “ mudah - mudahan orang Sungairaya juga kehausan ” dan mungkin itulah sebabnya pada sampai saat sekarang tidak ada sumber mata air. Walaupun beliau sudah dalam keadaan lunglai, tapi beliau tetap melanjutkan perjalanannya dengan membawa barang – barang pusakanya. Waliyah Zainab terus berjalan tak menentu kemana arah tujuanya, sawah, sungai, ladang, padang rumput, dan pegunungan pun juga beliau lalui, maka sampailah beliau di sebuah pesisir pantai di daerah Tambak Timur. Disana beliau menemukan sebuah rumah yang di huni keluarga sepuh suami istri. Karena Waliyah Zainab sudah tidak kuat lagi menahan rasa haus, maka beliau meminta air minum kepada salah seorang penghuninya yaitu Embah Buk. Akhirnya Embah Buk memberi air minum dan Embah Buk juga menawari beliau untuk bermalam dan beristirahat di rumahnya. Akan tetapi Waliyah Zainab menolak penawaran Embah Buk dan memilih melajutkan perjalanannya, konon setelah Embah Buk di tinggal Waliyah Zainab, harta yang di miliki Embah Buk semakin bertambah dan sehingga Embah Buk terkenal sebagai orang yang sangat kaya di kalangan masyarakat Tambak. Waliyah Zainab melajutkan perjalanannya menuju kearah timur, Kini beliau sampai di sebuah tanjung desa Diponggo, beliau bingung sebab jika beliau meneruskan perjalanannya maka beliau harus mengarungi lautan lagi, maka akhirnya beliau memilih untuk mengadukan nasibnya di tanjung tersebut dengan menagis sejadi - jadinya, akhrirnya tanjung tersebut di namakan Tanjung Menagis. Pada suatu hari Waliyah Zainab bermaksud ingin mencari sesuap nasi ke perkampungan namun beliau tidak berani karena takut akan disambut dengan lebih menyakitkan hatinya, maka beliau hanya mondar - mandir di tumbuhan perdu.

Tiba - tiba disebuah lereng gunung Diponggo beliau bertemu dengan Embah Rambut (Dikatakan Embah Rambut karena rambutnya sangat panjang). Waliyah Zainab berkenalan dengan Embah Rambut, Embah Rambut menawarkan beliau untuk bermalam dan tinggal di rumahnya, Diponggo. Akhirnya Waliyah Zainab menerima permintaan Embah Rambut dengan senang hati, atas jasa Embah Rambut lah Waliyah Zainab mulai bergaul dengan masyarakat setempat. Ternyata Desa Diponggo benar - benar menjadi tempat terakhir sebagai persinggahan beliau.

Waliyah Zainab atau Dewi Wardah istri kedua Sunan Giri wafat dan di kubur di Desa Diponggo, bukan yang ada di Giri, Gresik. Dalam sebuah riwayat Waliyah Zainab atau Dewi Wardah yang masih tertulis di daun lontar yang berbahasa Arab – Pegon di Museum Sultan Hasanuddin, Baten, Jawa Barat. Pada daun lontar tersebut di ceritakan kehidupan Dewi Wardah yang akhirnya wafat dan di kuburkan di Desa Diponggo, Bawean, yang tidak lain adalah Waliyah Zainab yang kini makamnya terletak di belakang Masjid Diponggo.
 




Bahasa Desa Diponggo yang Mirip dengan Bahasa Jawa

Kehadiran Waliyah Zainab di tengah - tengah masyarakat Diponggo memberikan suasana baru. Dalam keseharian orang Diponggo, Waliyah Zainab dijadikan idola dalam pergaulan. Masyarakat Diponggo bukan hanya tertarik pada kepribadian beliau, melainkan tertarik terhadap bahasa yang di bawa beliau. Awalnya masyarakat Diponggo meniru bahasa yang digunakan beliau karena dianggap lucu. Tapi pada akhirnya mereka pun juga menggunakan bahasa yang di bawa beliau antar mereka, antar tetangga hingga antar kampung. Sementara itu Waliyah Zainab merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Diponggo karena tidak bisa berbahasa Bawean dengan baik sehingga beliau mencampuradukkan bahasa Jawa dan Bawean. Dari bahasa yang di bawa beliau maka lahirlah bahasa Diponggo yang ada pada saat sekarang ini. Tapi uniknya, bahasa ini tidak tersebar ke desa lain karena faktor geografis. Karena letak perkampungan Desa Diponggo agak jauh dari desa - desa yang ada disekitarnya. Sehingga bahasa ini hanya di gunakan antar tetangga dan antar kampung di Desa Diponggo.
Masjid di Komplek Makam waliyah Zainab
Tarif Parkir ke Makam Waliyah Zainab
Adik ipar yang ngantar kami kesana
Komplek makam disekitar makam Waliyah Zainab
Lorong penghubung menuju ke Makam Waliyah Zainab
 



No comments:

Post a Comment