Saturday 6 September 2014

Keraton Kanoman Cirebon


Setelah 8 bulan saya bertugas di Cirebon baru kali ini saya sempat mengunjungi bangunan Keraton Kanoman. Sebetulnya ada 2 keraton utama di Cirebon, yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Yang lebih populer adalah keraton Kasepuhan. Dan saya justru penasaran dengan yang tak terlalu populer. Rabu jam 1 siang saya pergi kesana bersama teman saya.  Kurang lebih 20 menit saya sempat berputar-putar di daerah pasar Kanoman untuk mencari lokasi Keraton tersebut. Dan ternyata betul bangunan yang seharusnya bisa dijadikan sebagai ikon kota Cirebon justru tersisihkan oleh semrawutnya para pedagang di pasar Kanoman sehingga agak kesulitan apabila kita akan mengunjungi bangunan tersebut.
Berbekal informasi yang saya peroleh dari tukang parkir, perjalanan saya lanjutkan dengan jalan kaki menyusuri pertokoan dan pasar. Sampai akhirnya saya melihat ada gapura dan berbelok kesana. Jalannya terasa sempit saking ramainya orang lalu lalang, dan seringkali harus mengalah pada mobil, motor, dan becak yang lewat.
Saya berjalan masuk ke dalam, mengikuti arah pintu-pintu yang terbuka, sampai akhirnya tiba di sebuah halaman, ada beberapa bangunan disana, yang ternyata adalah bangsal Jinem, yang digunakan Sultan Kanoman untuk menerima tamu, dan bangunan museum atau Gedung Pusaka Keraton Kanoman. 
Tak lama kemudian saya di tegur oleh seseorang: “Ada perlu apa mas?” Saya jawab saja sedang jalan-jalan sambil lihat keraton. Saya pun berkenalan dengan orang yang ternyata adalah salah satu pengurus keraton. Oleh beliau, saya dibawa ke museum, atau disana disebut Gedung Pusaka Keraton Kanoman. Saat itu museum sudah buka dan saya diminta untuk membayar Rp. 7000 per orang. Tidak lama, saya dipersilakan masuk. Dan saya pun masuk ke sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, disana terdapat beberapa benda-benda peninggalan masa lalu.
Benda yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah kereta kencana Paksi Naga Liman yang sangat unik. Bentuk Paksi Naga Liman adalah perpaduan dari Paksi (burung), Naga (Naga), dan Liman (gajah). Burung atau bouraq dengan sayapnya mewakili unsur Islam, naga mewakili unsur Cina dan belalai gajah mewakili unsur Hindu. Kereta ini dibuat pada tahun 1428 M, atas prakarsa Pangeran Losari (tercantum di papan keterangan). Di masa dahulu kereta ini ditarik oleh 6 ekor kerbau. Kereta ini tidak pernah digunakan lagi sejak tahun 1940-an. Oleh karena itu dibuat replikanya, yang digunakan di acara-acara tertentu. 

Selain itu,  terdapat kereta Jempana, yang tahun pembuatannya sama dengan Paksi Naga Liman. Kereta Jempana adalah kereta yang digunakan oleh permaisuri. Di kereta Jempana inilah terdapat motif mega mendung yang sekarang terkenal sebagai ikon batik Cirebon.

Benda-benda lain yang dipamerkan di ruang museum antara lain gamelan yang dibuat sekitar abad 18, meriam-meriam peninggalan Portugis, kotak penyimpan barang, mesin jahit dari Raffles, keris, tombak, yang sayangnya kelihatan kusam. 


Kemudian saya dibawa ke sebuah tempat yang disebut Bangsal Jinem, tempat sultan atau wakil sultan menerima tamu. Di dalamnya terdapat singgasana sultan yang sudah tidak digunakan karena umurnya yang tua dan kondisinya yang lapuk. Bentuk singgasana Sultan Kanoman ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Cukup sederhana untuk dikatakan sebagai singgasana, menurut saya bukan tampak seperti singgasana, lebih seperti kursi untuk selonjoran atau tiduran. Menurut salah seorang kerabat keraton yang mengantar saya, singgasana Sultan yang memiliki bentuk demikian menandakan bahwa kekuasaan Kesultanan hanya bersifat simbolis,  sudah ‘tertidur’,  tidak lagi kuat dan memiliki pengaruh besar seperti di masa lalu.  Di samping kiri dan kanan tempat singgasana, terdapat hiasan karang.
Setelah melihat-lihat Bangsal Jinem, saya berjalan ke bagian depan keraton, tepatnya di halamannya. Dan saya pun menemukan keunikan. Di dinding-dinding bangunan yang terdapat di halaman keraton terdapat piring-piring porselen yang ditempel. Piring-piring tersebut adalah hadiah dari Cina untuk keraton Cirebon, termasuk Kanoman dan Kasepuhan. Ini terkait dengan kisah Sunan Gunung Jati yang menikah dengan seorang putri Cina bernama Ong Tien.

Selain bangunan ini terdapat beberapa pintu yang terbuat dari kayu yang sudah berumur sangat tua.
 Dan berikut beberapa dokumentasi yang sempat saya abadikan.

 

No comments:

Post a Comment