Beberapa hari lalu, saya
menginjakkan kaki di Parapat. Di kota yang terletak di pinggir danau Toba
tersebut terdapat rumah tempat tinggal Bung Karno selama menjalani pengasingan.
Rumah bergaya bangunan Eropa itu masih berdiri megah.
Rumah tersebut terletak persis di pinggiran danau
Toba. Rumah tersebut berlantai dua. Konon, rumah ini bekas vila para mandor
perkebunan Belanda. Di tahun 1949, rumah tersebut menjadi saksi getirnya
perjuangan para pemimpin Republik.
Pada akhir Desember 1949, tiga pemimpin Republik
Indonesia, yakni Bung Karno, Sjahrir, dan Haji Agus Salim, di buang Sumatera
Utara. Awalnya mereka ditempatkan di Brastagi. Namun tak lama kemudian,
ketiganya dipindahkan ke Parapat.
Di Parapat ketiga pemimpin Republik itu menempati
rumah bekas tempat peristirahatan orang-orang Belanda. “Rumahnya sangat indah
dan cantik,” kata Bung Karno. Rumah itu terletak di ketinggian dan langsung
menghadap ke danau Toba. “Sangat indah pemandangan itu,” kenang Bung Karno
dalam buku otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Di rumah itulah Bung Karno menghabiskan hari-harinya.
Sebagai orang tawanan, Bung Karno tidak bebas. Kabar tentang keberadaannya di
Parapat ditutup rapat. Dengan begitu, rakyat Indonesia di Parapat tidak begitu
mengetahuinya. Yang menarik, seperti diceritakan Bung Karno sendiri dalam
otobiografinya, kendati berada di bawah pengawasan yang ketat dari tentara
Belanda, Bung Karno tetap berupaya membangun komunikasi dengan dunia luar. Itu
sedikit kisah tentang bangunan tempat pengasingan Bung Karno di Parapat.
Sayangnya Rumah pengasingan
itu tidak diperuntukkan sebagai museum sejarah. Pemerintah Provinsi Sumatera
Utara menjadikan rumah bersejarah itu sebagai “Mess Pemda”. Tamu-tamu Pemprov
Sumut diinapkan di rumah itu. Akibatnya, furniture rumah tersebut sudah tidak
asli lagi. Tak hanya itu, masyarakat umum juga tidak bisa mengakses rumah
bersejarah itu.
Kenapa pak tidak bisa diakses oleh masyarakat. Bukannya bagus untuk menarik pengunjung yang tertarik dengan sejarah?
ReplyDelete