Tuesday 26 January 2021

Tulisan saat berkunjung ke Trenggalek

 

Kemana pun destinasi yang dituju, setiap perjalanan tentu memiliki makna. Biasanya kita mengemas makna perjalanan dalam bentuk foto yang akan selalu menjadi kenangan setelah pulang. Selain foto, makna perjalanan juga bisa dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Gak hanya menjadi kenangan untuk diingat tapi juga bisa jadi sumber inspirasi bagi orang lain.

Saat berkunjung ke kota Gaplek Trenggalek, saya bertemu dengan beberapa orang. Salah satunya adalah Mbah Mirah. Beliau adalah warga asli Trenggalek yang tinggal di lereng perbukitan di daerah Bendungan.

Keseharian beliau menanam ketela untuk dibuat gaplek. Seperti sudah banyak diketahui, letak geografis daerah Bendungan yang berada di perbukitan dataran tinggi sehingga lahan persawahan cenderung lebih sempit dibandingkan dengan luas daerah secara keseluruhan. 

Adapun sebagian warga ada yang berusaha menanam padi Lahan kering atau dalam istilah lokal dikenal "gogo", tidak diperoleh hasil yang memuaskan dikarenakan luas lahan mereka yang tidak terlalu luas dan sudah ada tanaman lain atau sistem tumpang sari. Sehingga untuk mencukupi kebutuhan beras, warga masyarakat banyak yang mengandalkan belanja dari toko. Hal tersebut tentunya cukup membebani warga masyarakat mengingat banyak warga yang hidup dibawah garis kemiskinan dan juga disebabkan pula minimnya lapangan pekerjaan. 

Adalah pohon ketela atau pohon singkong, pohon ini dapat tumbuh subur di daerah Bendungan bahkan dilahan yang sudah digunakan sistem tumpang sari sekalipun. Hampir setiap pekarangan warga masyarakat terdapat tanaman ubi ketela atau singkong tersebut. 

Hal ini dilakukan untuk mencari alternatif makanan pokok pengganti beras karena singkong sendiri dapat diolah menjadi nasi thiwul. Masa panen singkong sendiri setelah masa tanam berkisar sembilan atau sepuluh bulan. Untuk mengolah singkong menjadi nasi thiwul yang siap saji dibutuhkan proses pengolahan yang cukup panjang. Setelah Ketela dikupas, ketela tersebut kemudian dijemur kurang lebih selama 5 hari. Kemudian ketela yang sudah kering atau yang lebih dikenal dengan sebutan gaplek tersebut dicuci bersih lalu ditumbuk halus menjadi tepung. Setelah ketela kering tersebut berubah menjadi tepung, untuk membuat nasi thiwul masih harus melewati proses pembentukan bulir atau dalam istilah warga lokal dikenal dengan sebutan nginthil. Setelah proses penginthilan selesai kemudian bulir tepung tersebut di tanak yang membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Barulah nasi thiwul tersebut dapat dihidangakan. Nasi thiwul itu sendiri sangat cocok dihidangkan dengan lauk ikan asin, bothok dan sambal. Berdasarkan cerita para sesepuh warga daerah Bendungan, nasi thiwul sudah ada sejak zaman dahulu kala, bahkan dahulu warga masyarakat hanya mengkonsumsi nasi thiwul saja tanpa nasi putih, mengingat minimnya lahan persawahan masyarakat dan rendahnya daya beli masyarakat terhadap beras yang dijual di toko- toko. 

Kurang lebih seperti itu pengalaman saya saat berkunjung ke Trenggalek kota Gaplek.

No comments:

Post a Comment