Ada cerita menarik dari teman saya saat gurunya sedang memberikan tips agar mudah menjawab soal apabila ditanya kapan perang Diponegoro berlangsung, jawabannya adalah saat menjelang adzan Isyak tiba yaitu 1825 s/d 1830 hehe, mendengar penjelasan tersebut sepertinya masuk akal dan cukup menarik untuk ditulis, karena perang Diponegoro sendiri berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan 1830.
Guyonan smart ini saya dapatkan saat melakukan putar balik di Jalan H.O.S Cokroaminoto TR III/ 430 Tegalrejo, Yogyakarta. Sepintas terlihat tulisan museum di sebelah kiri jalan. Setelah berdiskusi sebentar dengan kawan-kawan akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi gedung yang konon dulunya adalah kediaman pangeran Diponegoro tersebut.
Sayang saat kami berkunjung, Museum Monumen Pangeran Diponegoro sudah tutup. Namun berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai sumber bahwa di dalam ruang pamer terdapat bermacam koleksi antara lain uang koin, batu akik, tombak, keris, pedang, panah, bandil, patrem (senjata prajurit perempuan), dan candrasa (senjata tajam berbentuk mirip tusuk konde) biasa digunakan oleh telik sandi (mata-mata) kerajaan. Sedangkan sejumlah alat rumah tangga buatan tahun 1700-an terbuat dari kuningan, terdiri dari tempat sirih dan kecohan, canting (alat membatik), teko bingsing, bokor serta berbagai bentuk kancip (alat membelah pinang), tertata dengan rapi.
Di dalam Museum juga terdapat sebuah tembok yang jebol di bagian barat puri. Konon dulu pada tanggal 20 Juli 1825 tentara Belanda menyerang kediaman pangeran Diponegoro. Pasukan Belanda mendesak masuk lewat arah utara, timur, dan selatan puri. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan Pangeran Diponegoro untuk menyelamatkan diri adalah menjebol tembok bangunan. Pemandangan yang tidak biasa ini hanya terdapat di Museum Pangeran Diponegoro, tembok bagian barat menjadi “lubang waktu” yang menghubungkan masa kini dan masa lalu.
Peninggalan Pangeran Diponegoro lainnya adalah padasan (tempat air wudhu) di depan pendopo serta batu comboran (tempat makan dan minum kuda) di bagian tenggara pendopo.
Sekilas tentang Pangeran Diponegoro :
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung
Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11
November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang garwa ampeyan
(selir) bernama RA Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non
permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden
Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra
seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III,
untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah
permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu
Kedhaton, Raden Ayu Ratnaningsih, dan Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Perang Diponegoro berawal ketika pihak
Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu,
beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat
istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda
secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran
Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas
di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat
"perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas
hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta,
Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Perjuangan
Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan. Selama perang ini kerugian pihak
Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda
untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000
Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara. Sampai
akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan
akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak
pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi,
dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta
menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro
dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi
masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi
keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai
Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton,
terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Sumber : Wikipedia
No comments:
Post a Comment