Seiring dengan perjalanan waktu tidak terasa 71 tahun sudah kita menghirup udara kebebasan dan kemerdekan berkat perjuangan para pendahulu kita yang telah rela mengorbankan segala hal, baik tenaga, harta benda bahkan nyawa sekalipun. Bung Karno pernah mengatakan bahwa Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Setidaknya hal apa yang bisa kita lakukan untuk mengenang jasa para pahlawan tersebut, kalau menurut saya ya ikut menceritakan kembali kisah-kisah heroik yang telah mereka lakukan untuk kemerdekaan negeri kita tercinta kepada generasi penerus agar jasa mereka tidak terlupakan oleh jaman.
Saat berkunjung ke Kota Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara saya menjumpai sebuah monumen pahlawan yang dibangun cukup megah, tepatnya berada di depan Kantor Bupati setempat. Hal ini adalah salah satu bentuk penghargaan yang ditujukan kepada pahlawan. Di monumen yang dibangun setinggi 4 meter tersebut terdapat penjelasan berbagai hal diantaranya yaitu biografi pahlawan, Jejak langkah perjuangan dan kepedulian rakyat barito terhadap sejarah. Sosok Pahlawan yang saya maksud adalah Panglima Batur.
Siapakah sebenarnya Panglima Batur ? berikut catatan dari berbagai sumber yang sempat saya tulis ulang.
Panglima Batur adalah Panglima perang suku Dayak yang gigih melawan penjajah Belanda. Batur bin Barui lahir pada tahun 1852 di Desa Buntok Baru, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara yang merupakan desa di pinggiran Sungai Barito. Saat berusia 35 tahun, dia menikah dengan Samayap binti Kimat yang berumur 30 tahun pada tahun 1887. Istri Batur, Samayap mempunyai nama lain Idas. Ibunda Samayap berasal dari desa Petak Bahandang di Daerah Aliran Sungai Kahayan.
Kawasan yang menjadi tempat pertempuran Panglima Batur berada di sekitar Desa Buntok Baru, Butong, Lete, Mantehep (dekat Muara Teweh) bahkan sampai ke wilayah Manawing dan Beras Kuning wilayah hulu Barito.
Pada akhir Desember 1904, Panglima Batur dipercaya menjadi utusan Sultan Muhammad Seman menghadap Raja Pasir Kalimantan Timur meminta bantuan senjata dan mesiu untuk persiapan amunisi cadangan. Tetapi saat dia kembali dari Kerajaan Pasir, Benteng Bara Kuning telah runtuh terbakar diserang oleh Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan Korps Marechaussee te Voet (marsose) yang terkenal ganas dan bengis.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan gugur sebagai kesuma bangsa, kemudian dimakamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Panglima Batur tetap terus bertekad mengobarkan perlawanan di wilayah Barito Tengah dengan menyusun kekuatan sendiri bersama pengikutnya di Desa Buntok Kacil. Beberapa pembantu Batur waktu itu, Panglima Bitik Bahe (Lanjas), Damang Luntung (Pendreh), Damang Laju (Jingah), Tamanggung Danom dan Angis (Montallat), Raden Joyo, Panglima Inti, Upeng dan Tamanggung Jadam (Sungai Teweh) serta Panglima Bahi dan Tamanggung Lawas (Sungai Lahei).
Panglima Batur meminta para pengikutnya melakukan penyerangan benteng, penyergapan patroli Belanda serta melakukan pencegatan barang masuk terutama garam yang masuk ke wilayah Barito Tengah. Akibat perlawanannya terhadap Belanda, Panglima Batur dicap sebagai pemberontak dan berbahaya yang tak mau menyerah dan tak mau diajak berunding.
Belanda kemudian menggelar sebuah operasi militer, kemudian menyerang dan membakar rumah Panglima Batur beserta keluarganya di Desa Buntok Kacil, sedangkan Batur yang bersembunyi di pondok Muara Mariak bersama ibundanya juga diserang habis-habisan.
Meski Panglima Batur dapat meloloskan diri namun ibundanya meninggal dunia, ibunda Batur dikuburkan di Sampanga sekitar dua kilometer dari Buntok Kacil. Lokasi penyerangan Belanda itu sekarang berada di kawasan perkebunan kelapa sawit PT Antang Ganda Utama PIR Butong Kecamatan Teweh Selatan.
Merasa kesulitan menangkap Panglima Batur, maka Belanda kemudian merencanakan siasat licik. Panglima Batur terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya.
Begitu siasat licik tersebut dilaksanakan, banyak keluarga dan kerabat Panglima Batur yang ditangkap dan dimasukan ke penjara di Muara Teweh dan dijadikan sandera untuk memancingnya agar mau memenuhi panggilan Belanda.
Penyiksaan terhadap keluarga yang ditangkap cukup berat, bahkan sepasang pengantin yang sedang bersanding di Desa Lemo Kecamatan Teweh Tengah juga ditangkap karena pengantin wanita yang merupakan keponakan Batur dikira anak dari Panglima Batur.
Situasi makin memilukan hati Panglima Batur setelah tersiar kabar bahwa seluruh anak laki-laki di Desa Lemo dan Buntok Kacil akan ditangkap apabila Panglima Batur tidak memenuhi panggilan ke Muara Teweh, H. Dumajid, saudara dari Panglima Batur juga datang ke persembuyiannya di Muara Pariak menyampaikan berita tentang penangkapan 80 orang penduduk Lemo akan terus berlanjut apabila Batur tidak memenuhi panggilan Belanda ke Muara Teweh.
Panglima Batur pun bersedia memenuhi panggilan Asisten Residen ke Muara Teweh untuk berunding tetapi nyatanya itu hanya jebakan, dia ditangkap oleh Letnan Christoffel dibantu Letnan VH Vink, dua pekan lamanya Panglima Batur mendekam dipenjara Muara Teweh lalu dibawa ke Banjarmasin.
Untuk mengenang peristiwa Panglima Batur ditangkap, maka ditanamlah pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) di pinggiran Sungai Barito sekarang di kawasan tugu Pendopo Muara Teweh, namun sayang pohon yang berusia ratusan tahun itu telah ditebang.
Tiba di kota Banjarmasin, dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.
Panglima Batur kemudian ditahan di penjara di Banjarmasin untuk menjalani proses pengadilan, mulai dari Landraad Marabahan, Pengadilan Tinggi Belanda di Surabaya, Jawa Timur dan Mahkamah Konstitusi Belanda di Batavia menetapkan bawah Panglima Batur bersalah atas tuduhan makar.
Selanjutnya Pengadilan Belanda atas nama Sri Baginda Ratu Belanda memutuskan memperkuat keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang memutuskan Batur bersalah dan dijatuhi hukuman gantung.
Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya adalah minta dibacakan Dua Kalimah Syahadat untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami Banjarmasin, kemudian pada tanggal 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar.
Mungkin itu sekelumit kisah heroik dari Panglima
Batur dalam melawan penjajah Belanda.
No comments:
Post a Comment