Selamat Siang Banyumas, kali ini saya
datang untuk melihat dari dekat SungaiMu......hehe.....sepertinya aneh banget......terus
mungkin ada yang bertanya kenapa kok melihat sungai? Apa hubungannya? Begini
ceritanya......beberapa hari terakhir ini teman-teman saya dikantor lagi demam
dengan lagu keroncong klasik ciptaan seorang komposer yang bernama Soetedja
pada tahun 1940-an. Lagunya berjudul “Di Tepi Sungai Serayu”. Jadi karena
saking seringnya kita naik kereta dan berhenti di stasiun Purwokerto atau stasiun
Kroya lagu ini selalu kami dengar. Dan sampai suatu saat salah satu dari teman
saya bertanya.....nada ketika ada kereta berhenti di stasiun Purwokerto itu apa
ya......? terus teman saya yang satunya menjawab Oo.......itu lagu yang
berjudul “Di Tepi Sungai Serayu”. Nah......berawal dari situ mulailah kami
searching lagu tersebut untuk kita download. Ada yang dijadikan ring tone, ada
yang diputar saat jam kerja dll. Buat saya ini sesuatu hal yang harus
dikunjungi dan ditulis dalam catatan Wiyak Bumi Wiyak Langit.....hehe....
Tapi memang seingat saya, pertama kali mendengar
lagu ini ya di Stasiun Purwokerto. Khas! Jadi, kalau di stasiun-stasiun lain
saya harus melihat dulu keluar jendela untuk mengetahui papan plang yang
bertuliskan nama stasiun, tidak begitu kalau saya lagi di Stasiun
Purwokerto. Cukup mendengar nada awal dari lagu ini dan saya sudah yakin kalau
saya sedang berhenti di stasiun Purwokerto atau stasiun Kroya.
Memang, meski sama-sama terinspirasi dari
sebuah sungai yang mengalir, lagu ini tidak bisa menjadi seterkenal lagu
keroncong lainnya yang juga terinspirasi dari sebuah sungai, yaitu lagu
Bengawan Solo yang diciptakan sama Mbah Gesang. Entahlah! Mungkin momennya yang
tidak pas, atau promosinya yang kurang. Mungkin juga karena jaman dulu belum
ada iklan, ringtone atau yang sejenisnya. Jadinya lagu ini tidak mudah
menyebar dan dikenal sama masyarakat luas. Atau apa ya? Entahlah. Saya sendiri
juga kurang begitu tahu.
Kalau kita mengutip sedikit dari bait
lirik di lagu ini, ada syair yang mengatakan “warna
air sungai nan jernih / beralun berkilauan”. Kalau sekarang kita
cocokan lirik ini sama kondisi Sungai Serayu saat ini, pasti kita akan
mengernyit dan bertanya. “Sungai Serayu yang mana nih yang dimaksud?”. “Orang
sungainya coklat begitu kok. Masak sih jernih?” Hehe. Itu duluuu! Dulu di tahun
1940an saat lagu ini baru diciptakan. Kalau sekarang ya iya, sungainya butek.
Coklat begitu. Orang kita juga kok yang bikin butek itu sungai.
Liric Lagunya kurang lebih seperti ini:
Ditepinya Sungai Serayu
Waktu fajar menyingsing
Pelangi merona warnanya
Nyiur melambai-lambai
Waktu fajar menyingsing
Pelangi merona warnanya
Nyiur melambai-lambai
Warna air sungai nan jernih
Beralun berkilauan
Desir angin lemah gemulai
Aman tentram dan damai
Beralun berkilauan
Desir angin lemah gemulai
Aman tentram dan damai
Gunung Slamet nan agung
Tampak jauh disana
Bagai sumber kemakmuran
Tirta kencana
Tampak jauh disana
Bagai sumber kemakmuran
Tirta kencana
Indah murni alam semesta
Tepi sungai Serayu
Sungai pujaan bapak tani
Penghibur hati rindu
Tepi sungai Serayu
Sungai pujaan bapak tani
Penghibur hati rindu
No comments:
Post a Comment