Sunday, 19 October 2014

Pohon Kelapa Penyelamat Panji Siliwangi di Ciamis

Setelah menyusuri jalan berkelok-kelok yang cukup membuat perut sedikit mual, akhirnya sampailah saya di Dusun Cirikip Ds. Cinyasag Kec. Panawangan Kab. Ciamis. Perjalanan saya kesini bukan tanpa maksud, melainkan untuk mengetahui lebih dekat tentang kisah pohon kelapa yang digunakan untuk menyelamatkan Panji Siliwangi oleh almarhum Sahnawi dari ancaman Gerombolan DI/TII dan Pasukan Belanda pada agresi militer 1948. 
Atas jasanya tersebut, sebagai ungkapan penghargaan atas terselamatkannya sang panji dari ancaman musuh, pemerintah mengangkat Sahnawi sebagai anggota veteran dan pernah diberi hadiah sebidang sawah oleh Pangdam Siliwangi. Pada tahun 1975 Pangdam Siliwangi Mayjen Himawan Soetanto membangun sebuah Monumen Penyelamat Panji Siliwangi di depan halaman rumah Sahnawi. Sementara pohon kelapa itu telah dinobatkan sebagai kelapa penyelamat sang panji hingga sekarang.
Pada pertengahan tahun 2003 yang lalu, tanpa diduga pohon kelapa bersejarah itu tumbang tertimpa angin. Mungkin karena terkikis usianya yang sudah tua, sang pohon patah batangnya. Namun tumbangnya kelapa bersejarah itu tidak sampai akarnya sehingga sisa batangan kelapa yang sudah bersalin rupa menjadi sebuah tonggak setinggi dua meteran itu masih bisa dijadikan bukti sejarah bagi generasi mendatang. 
Di depan tonggak kelapa telah dibangun sebuah tugu terbuat dari tembok setinggi tiga meteran. Di depan tugu termaktub sebuah tulisan dengan kalimat bertuliskan, "Dipohon kelapa ini Panji Siliwangi disembunyikan untuk diselamatkan dari Belanda dan Gerombolan DI/TII pada tahun 1949 oleh bapak Sahnawi ( Alm )".
Menurut sejarah yang sempat saya baca bahwa Pasukan Siliwangi pada tahun 1948 melaksanakan hijrah ke Jawa Tengah, sebagai akibat Perjanjian Renville (17/1/1948). Di wilayah yang  jauh dari tanah asalnya, mereka kemudian terlibat dalam aksi penumpasan pemberontakan PKI Madiun, bersama pasukan Diponegoro dan Brawijaya. Belum lepas dari rangkaian perjuangan yang melelahkan, mereka diperintahakan oleh Panglima Besar Sudirman, melalui 'Perintah Siasat Nomor 1' (9/11/1948), untuk kembali ke Jawa Barat. Pasukan Siliwangi kemudian menempuh perjalanan darat penuh risiko, dengan berjalan kaki selama 40 hari, hingga masuk wilayah Rancah. Pada 2 Januari 1949, pengamanan dan pengawalan Panji Siliwangi –saat itu disebut “Vaandel Siliwangi”- diserahkan oleh Kopral Somantri, salah saorang anggota rombongan Staf Divisi Siliwangi, kepada Letnan Satu Mung Parahadimulyo, Komandan Kompi IV Batalyon Nasuhi, Brigade Samsu, Divisi Siliwangi. Panji tersebut sempat terancam karena serangan pesawat Belanda di wilayah tenggara Gunung Syawal (24/1/1949), maupun serangan di Antralina (27/1/1949). Panji sempat dipegang oleh gerombolan DI/TII yang menawan tentara Siliwangi, dan bahkan kemudian dilemparkan ke tanah. Letnan Satu Mung Parahadimulyo memegang peranan penting dalam kisah 'penitipan' Panji Siliwangi kepada Lurah Sunahwi. Ia mengenal baik lurah tersebut, seorang penyadap nira yang sangat mendukung perjuangan. Lurah Sunahwi sendiri sangat menyadari beban dan risiko yang dihadapinya dalam menerima titipan Panji Siliwangi. Jika panji tersebut hilang atau direbut musuh, maka ia sendiri yang harus menjadi gantinya. 
Beruntung, wilayah Desa Cinyasag termasuk bersih dari pengaruh politik luar, dan para pemudanya bersatu mendukung perjuangan RI. Padahal, waktu itu DI/TII sedang meluaskan pengaruh di wilayah Ciamis utara, dan beredar pula kabar bahwa Belanda menyebar mata-mata ke wilayah Cinyasag. Dalam sebuah aksi pembersihan, Belanda sempat pula menawan Kuwu (kepala desa) Cinyasag, M. Darajat, selama berhari-hari. Konon, mulanya Lurah Sunahwi memasukkan ransel yang berisi Panji Siliwangi ke dalam besek, dan selalu membawanya ke mana-mana. 
Namun ia merasa tidak aman, apalagi sempat terjadi penyisiran oleh pasukan baret hijau Belanda yang menewaskan dua orang pemuda Cirikip. Ia mendapat bantuan pengamanan dari Suharya, pimpinan pemuda Cinyasag dari kampung Kaliwon. Sumber lain menyatakan, Sunahwi dan Panji Siliwangi juga dikawal oleh Suhanta, adik Sunahwi sendiri, yang merupakan tokoh pemuda Cirikip saat itu. Sunahwi kemudian membuka ransel titipan dan saat itulah ia mengetahui wujud asli Panji Siliwangi. Ia lalu menyimpannya di dalam sebuah bumbung bambu (lodong) yang biasa digunakan untuk menyadap nira, dan menempatkannya di atas pohon kelapa setinggi lebih kurang tujuh meter. Barulah ia merasa tenang, dan cukup dengan melihat bumbung tersebut dari jauh, ia tahu bahwa panji dalam keadaan aman. 
Hal tersebut berlangsung sekitar tiga bulan lamanya, hingga suatu hari bumbung bambu ditemukan berada di kolam yang berada di bawah pohon kelapa. Rupanya pucuk tempat menyimpan bumbung tersebut sudah berubah menjadi pelepah dan bumbungnya jatuh ke bawah. Panji Siliwangi akhirnya ‘dijemput’ kembali oleh seorang utusan bernama Letnan Kosasih dari pasukan Siliwangi. Panji tersebut kemudian disampaikan kepada Panglima Siliwangi, dan kini menjadi salah satu bagian dari Museum TNI. Sunahwi mendapat penghargaan dari negara. Lokasi tempat tinggalnya, atas prakarsa Kodam Siliwangi, sejak tahun 1975 dijadikan monumen sejarah. Kini, setiap tahun lokasi tersebut diramaikan oleh acara napak tilas perjuangan pasukan Siliwangi.
Berikut adalah beberapa dokumentasi yang sempat saya abadikan ketika disana : 
 

2 comments:

  1. bagus,jd tahu sejarahnya,...

    ReplyDelete
  2. Jangan sampai hilang sejarah penyelamat "panji siliwangi"..! Esa hilang dua terbilang.

    Salam sunda galuh.

    ReplyDelete