Saking seringnya saya melewati Terminal
Harjamukti Kota Cirebon membuat saya semakin penasaran dengan baliho besar yang
terpampang di pintu masuk terminal tersebut. Sebuah baliho besar yang
bertuliskan “Ingsun titip Tajug lan Fakir Miskin”. Konon kalimat itu merupakan sebuah
wasiat dari Sunan Gunung Jati kepada masyarakat Cirebon. Dari beberapa
penelusuran saya mengenai arti kalimat tersebut kurang lebih adalah “saya titip
masjid dan fakir miskin”.
Mari kita telaah bersama mengenai arti kata tersebut :
Yang pertama adalah ingsun titip tajug
(saya menitipkan musholla/masjid). Secara harfiah, sekilas memang dapat
diartikan musholla sebagai tempat beribadah umat islam secara kolektif/bersama.
Namun jika menelisik lagi ke sisi historis, makna tajug (musholla) bagi
masyarakat Cirebon di era jaman Sunan Gunung Jati hidup mempunyai dualisme
fungsi, yaitu :
1. Fungsi keyakinan/agama
2. Fungsi Sosial kemasyarakatan
Kenapa fungsi sosial kemasyarakatan?
Karena ketika itu masjid/mushola dijadikan symbol interaksi social segala
lapisan eleman masyarakat dari berbagai latarbelakang. Ada sebuah makna
kesetaraan, persamaan hak dan derajat manusia dan penghargaan kehidupan yang
bertenggang rasa ketika sebuah aktifitas social masyarakat dimulai di masjid.
Terlebih lagi dengan latar belakang masyarakat Cirebon yang multi etnik, bahasa
dan dialek.
Kedua, ingsun titip fakir miskin. Fakir
miskin adalah simbol kesinergian hubungan antara sesama manusia. Dimana fakir
miskin atau kemiskinan adalah produk dari sebuah kegagalan pengelolaan
Negara/komunal besar. Mengutip kata dari Mahatma Gandhi : Kemiskinan adalah
kekerasan yang terkeji, kemiskinan seakan menjadi resiko orang seorang dalam
setiap Negara gagal, padahal jika ditelaah dapat dipahami mengapa ada banyak
kemiskinan di negeri ini? Mengapa begitu banyak fakir miskin di Indonesia, kenapa
mereka masih terjerat dalam kegetiran hidup yang mengharuskan mereka berfikir
keras untuk bagaimana memikirkan biaya sekolah anaknya yang mahal, membeli
belanja makanan di pasar yang tak pernah kompromistis, betapa setiap warga
Negara dituntut untuk bagaimana memikirkan biaya perobatan yang melambung,
rumah yang semakin langka dan mahal, usaha ekonomi yang sulit, mencari
pekerjaan yang seolah berebut kepentingan hidup dan mati, dan sebagainya.
Bukankah ke semua hal tersebut tidak pernah terpikirkan oleh banyak orang di
negeri ini tak terkecuali di Cirebon? Pesan ingsun titip fakir miskin sesungguhnya
dapat dimaknai sebagai pengejawantahan tegaknya nilai kemanusiaan yang bermula
dari penghargaan Negara terhadap Warga negaranya, bagaimana penghargaan warga
Negara terhadap warga Negara lainnya, karena dasar dari kemanusiaan adalah
empati dan simpati. Namun apakah kedua itu masih dapat kita upayakan dalam
irama budaya masyarakat yang seolah diam dan acuh terhadap segala
ketidakberesan kondisi saat ini? Sunan gunung Jati yang dianggap sebagai patron
misionaris agama Islam di Wilayah Cirebon sebenarnya memiliki kedalaman pesan
yang seharusnya dapat kita maknai dengan bijak. Ingsun titip tajug lan fakir
miskin adalah khasanah budaya moral masyarakat Cirebon yang harus terus kita
pelihara namun jangan salah kaprah dalam memaknainya. Karena dalam untaian kata
tersebut memiliki makna yaitu Kesetaraan, Keadilan, Guyub dan yang terakhir
dalam menunjang nilai tersebut adalah rasa Kemanusiaan.
No comments:
Post a Comment