Tuesday, 14 October 2014

Penasaran dengan istilah "Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin" di Kota Cirebon



Saking seringnya saya melewati Terminal Harjamukti Kota Cirebon membuat saya semakin penasaran dengan baliho besar yang terpampang di pintu masuk terminal tersebut. Sebuah baliho besar yang bertuliskan “Ingsun titip Tajug lan Fakir Miskin”. Konon kalimat itu merupakan sebuah wasiat dari Sunan Gunung Jati kepada masyarakat Cirebon. Dari beberapa penelusuran saya mengenai arti kalimat tersebut kurang lebih adalah “saya titip masjid dan fakir miskin”. 

Mari kita telaah bersama mengenai arti kata tersebut :

Yang pertama adalah ingsun titip tajug (saya menitipkan musholla/masjid). Secara harfiah, sekilas memang dapat diartikan musholla sebagai tempat beribadah umat islam secara kolektif/bersama. Namun jika menelisik lagi ke sisi historis, makna tajug (musholla) bagi masyarakat Cirebon di era jaman Sunan Gunung Jati hidup mempunyai dualisme fungsi, yaitu :
1. Fungsi keyakinan/agama
2. Fungsi Sosial kemasyarakatan
Kenapa fungsi sosial kemasyarakatan? Karena ketika itu masjid/mushola dijadikan symbol interaksi social segala lapisan eleman masyarakat dari berbagai latarbelakang. Ada sebuah makna kesetaraan, persamaan hak dan derajat manusia dan penghargaan kehidupan yang bertenggang rasa ketika sebuah aktifitas social masyarakat dimulai di masjid. Terlebih lagi dengan latar belakang masyarakat Cirebon yang multi etnik, bahasa dan dialek.


Kedua, ingsun titip fakir miskin. Fakir miskin adalah simbol kesinergian hubungan antara sesama manusia. Dimana fakir miskin atau kemiskinan adalah produk dari sebuah kegagalan pengelolaan Negara/komunal besar. Mengutip kata dari Mahatma Gandhi : Kemiskinan adalah kekerasan yang terkeji, kemiskinan seakan menjadi resiko orang seorang dalam setiap Negara gagal, padahal jika ditelaah dapat dipahami mengapa ada banyak kemiskinan di negeri ini? Mengapa begitu banyak fakir miskin di Indonesia, kenapa mereka masih terjerat dalam kegetiran hidup yang mengharuskan mereka berfikir keras untuk bagaimana memikirkan biaya sekolah anaknya yang mahal, membeli belanja makanan di pasar yang tak pernah kompromistis, betapa setiap warga Negara dituntut untuk bagaimana memikirkan biaya perobatan yang melambung, rumah yang semakin langka dan mahal, usaha ekonomi yang sulit, mencari pekerjaan yang seolah berebut kepentingan hidup dan mati, dan sebagainya. Bukankah ke semua hal tersebut tidak pernah terpikirkan oleh banyak orang di negeri ini tak terkecuali di Cirebon? Pesan ingsun titip fakir miskin sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pengejawantahan tegaknya nilai kemanusiaan yang bermula dari penghargaan Negara terhadap Warga negaranya, bagaimana penghargaan warga Negara terhadap warga Negara lainnya, karena dasar dari kemanusiaan adalah empati dan simpati. Namun apakah kedua itu masih dapat kita upayakan dalam irama budaya masyarakat yang seolah diam dan acuh terhadap segala ketidakberesan kondisi saat ini? Sunan gunung Jati yang dianggap sebagai patron misionaris agama Islam di Wilayah Cirebon sebenarnya memiliki kedalaman pesan yang seharusnya dapat kita maknai dengan bijak. Ingsun titip tajug lan fakir miskin adalah khasanah budaya moral masyarakat Cirebon yang harus terus kita pelihara namun jangan salah kaprah dalam memaknainya. Karena dalam untaian kata tersebut memiliki makna yaitu Kesetaraan, Keadilan, Guyub dan yang terakhir dalam menunjang nilai tersebut adalah rasa Kemanusiaan.
 

No comments:

Post a Comment