Joglo di depan makam Waliyah Zainab |
Selain wisata yang berbasis alam ternyata Pulau
Bawean mempunyai segudang wisata religi dan spiritual. Hal ini bisa dilihat
dari banyaknya petilasan dan makam yang ada di pulau ini. Pada kesempatan kali
ini saya ingin menceritakan makam Waliyah Zainab yang berada di desa Diponggo, Kecamatan
Tambak, Bawean.
Sebelum saya bercerita lebih lanjut mungkin
sebagian ada yang bertanya siapa sebenarnya sosok Waliyah Zaenab tersebut. Dari
beberapa referensi yang sempat saya baca Waliyah Zainab pada masa
kecilnya bernama Dewi Wardah, putri Kiai Ageng Bungkul, salah seorang Pembesar
Kota Surabaya keturunan Raja Majapahit. Dewi Wardah dinikahi oleh Raden Paku
(Sunan Giri), tetapi Raden Paku sudah lebih dulu menikahi Dewi Murtasiyah
puteri dari Sunan ampel. Karena Dewi Wardah tidak ingin di madu, maka beliau
pergi berlayar ke arah utara dengan menaiki “Sentong” atau kelopak bunga
kelapa. Maka sampailah beliau di sebuah pulau disebelah utara laut Jawa yang
kita kenal dengan Pulau Bawean. Konon beliau mendarat tepat di pesisir pantai
Desa Komalasa, dan kemudian beliau mengganti namanya dengan Siti Zainab.
Kedatangan Siti Zainab di sambut dengan tidak sepenuh hati oleh masyarakat
setempat. Karena beliau dianggap wanita yang bepergian seorang diri dan
mengenakan pakaian compang - camping. Pada saat itu segenap masyarakat Komalasa
sedang dilanda wabah penyakit kulit yang banyak menjangkit para masyarakat
Komalasa. Kedatangan Waliyah Zainab di pesisir pantai Komalasa di ketahui
sejumlah masyarakat setempat, melihat penampilah Siti Zainab yang compang -
camping, masyarakat Komalasa beranggapan bahwa beliau lah yang membawa penyakit
kulit tersebut.
Maka masyarakat Komalasa dengan ramai - ramai megusir
beliau untuk pergi dari Komalasa, lalu Waliyah Zainab segera pergi dengan hati
yang sedih ke atas pegunungan untuk bersembunyi, dengan hatinya yang sedih
beliau pergi meninggalkan Desa Komalasa karena beliau merasa tidak diterima
oleh masyarakat Komalasa. Dengan menyusuri pegunungan, ngarai, sawah dan sungai
akhirnya beliau beristirahat sejenak di dusun Pedalaman Lebak. Waliyah Zainab
terus berjalan kearah timur mencari air untuk di minum karena beliau sangat
haus, tapi yang menyakitkan ketika beliau sampai di dusun Sungairaya beliau
meminta air minum, namun tak ada yang sudi untuk memberinya. Karena beliau
merasa marah, beliau berkata dalam hatinya “ mudah - mudahan orang Sungairaya
juga kehausan ” dan mungkin itulah sebabnya pada sampai saat sekarang tidak ada
sumber mata air. Walaupun beliau sudah dalam keadaan lunglai, tapi beliau tetap
melanjutkan perjalanannya dengan membawa barang – barang pusakanya. Waliyah
Zainab terus berjalan tak menentu kemana arah tujuanya, sawah, sungai, ladang,
padang rumput, dan pegunungan pun juga beliau lalui, maka sampailah beliau di
sebuah pesisir pantai di daerah Tambak Timur. Disana beliau menemukan sebuah
rumah yang di huni keluarga sepuh suami istri. Karena Waliyah Zainab sudah
tidak kuat lagi menahan rasa haus, maka beliau meminta air minum kepada salah
seorang penghuninya yaitu Embah Buk. Akhirnya Embah Buk memberi air minum dan
Embah Buk juga menawari beliau untuk bermalam dan beristirahat di rumahnya.
Akan tetapi Waliyah Zainab menolak penawaran Embah Buk dan memilih melajutkan
perjalanannya, konon setelah Embah Buk di tinggal Waliyah Zainab, harta yang di
miliki Embah Buk semakin bertambah dan sehingga Embah Buk terkenal sebagai
orang yang sangat kaya di kalangan masyarakat Tambak. Waliyah Zainab melajutkan
perjalanannya menuju kearah timur, Kini beliau sampai di sebuah tanjung desa
Diponggo, beliau bingung sebab jika beliau meneruskan perjalanannya maka beliau
harus mengarungi lautan lagi, maka akhirnya beliau memilih untuk mengadukan
nasibnya di tanjung tersebut dengan menagis sejadi - jadinya, akhrirnya tanjung
tersebut di namakan Tanjung Menagis. Pada suatu hari Waliyah Zainab bermaksud
ingin mencari sesuap nasi ke perkampungan namun beliau tidak berani karena
takut akan disambut dengan lebih menyakitkan hatinya, maka beliau hanya mondar
- mandir di tumbuhan perdu.
Tiba - tiba disebuah lereng gunung Diponggo beliau
bertemu dengan Embah Rambut (Dikatakan Embah Rambut karena rambutnya sangat
panjang). Waliyah Zainab berkenalan dengan Embah Rambut, Embah Rambut
menawarkan beliau untuk bermalam dan tinggal di rumahnya, Diponggo. Akhirnya
Waliyah Zainab menerima permintaan Embah Rambut dengan senang hati, atas jasa
Embah Rambut lah Waliyah Zainab mulai bergaul dengan masyarakat setempat.
Ternyata Desa Diponggo benar - benar menjadi tempat terakhir sebagai
persinggahan beliau.
Waliyah Zainab atau Dewi Wardah istri kedua Sunan Giri
wafat dan di kubur di Desa Diponggo, bukan yang ada di Giri, Gresik. Dalam
sebuah riwayat Waliyah Zainab atau Dewi Wardah yang masih tertulis di daun
lontar yang berbahasa Arab – Pegon di Museum Sultan Hasanuddin, Baten, Jawa
Barat. Pada daun lontar tersebut di ceritakan kehidupan Dewi Wardah yang
akhirnya wafat dan di kuburkan di Desa Diponggo, Bawean, yang tidak lain adalah
Waliyah Zainab yang kini makamnya terletak di belakang Masjid Diponggo.
Bahasa Desa Diponggo yang
Mirip dengan Bahasa Jawa
Masjid di Komplek Makam waliyah Zainab |
Tarif Parkir ke Makam Waliyah Zainab |
Adik ipar yang ngantar kami kesana |
Komplek makam disekitar makam Waliyah Zainab |
Lorong penghubung menuju ke Makam Waliyah Zainab |
No comments:
Post a Comment