Saat kecil saya pernah tinggal di sebuah dusun yang
tidak begitu ramai, setiap tahun penduduknya selalu mengadakan tradisi budaya yang
disebut dengan “Nyadran”. Masyarakat berbondong-bondong datang ke makam sambil
membawa berbagai makanan. Sesampainya di makam masyarakat berkumpul dan
dipimpin oleh seorang tokoh untuk berdoa bersama, salah satu doanya yaitu untuk
keselamatan seluruh penduduk dusun dari segala bentuk bencana dan mara bahaya. Selain
itu masyakat juga mendoakan agar “Sing Mbau Rekso” atau “Sing Mbabat Alas Deso”
diampuni dosa-dosanya. Mungkin diantara rekan-rekan ada yang bertanya tentang
istilah “Sing Mbau Rekso” atau “Sing Mbabat Alas Deso”, yang jelas dalam bahasa
Indonesia artinya leluhur yang pertama kali menghuni desa.
Selesai berdoa makanan tersebut dimakan bersama-sama. Lalu
acara dilanjutkan dengan membersihkan makam leluhur masing-masing. Kurang lebih
seperti itu tradisi yang masih terekam di otak saya. Sudah begitu lama saya tidak
mengikuti tradisi tersebut. Dan beberapa hari yang lalu saya berkesempatan mengunjungi
kembali dusun tempat saya tinggal dulu. Maksud kedatangan saya kesini tidak
lain adalah untuk ziarah ke makam kakek. Seperti kaset yang diputar kembali. Memori
saya tiba-tiba teringat tradisi tersebut. Rasa penasaran mulai timbul, karena
saya rasa budaya nyadran tidak hanya ada disini saja melainkan dilokasi lain di
tanah Jawa juga ada.
Dan berawal dari situ mulailah saya menggali dari berbagai
sumber. Konon budaya Nyadran berasal dari
tradisi Hindu-Budha. Sejak abad ke-15
para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama
Islam dapat dengan mudah diterima. Pada
awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa
saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam dinilai musrik. Agar tidak
berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan
adat tersebut, melainkan menyelasraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam,
yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa.
Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia
dan dengan Tuhan.
Selain itu sebenarnya masih ada hal lain yang membuat
saya penasaran sampai dengan saat ini, yaitu tentang keberadaan makam Kyai Ageng
Pranggang yang mana didusun kami disebut sebagai Sing Mbau Rekso atau Sing Mbabat
Alas Deso. Apakah kyai Ageng Pranggang adalah tokoh yang sama dengan yang ada
di cerita Kebo Kicak? sampai saat ini
belum diperoleh sumber yang jelas. Andai memang Kyai Ageng Pranggang adalah
tokoh yang sama di dalam lakon kebo kicak. Pastinya beliau adalah orang yang
sakti mandraguna.
Mungkin itu sedikit yang bisa saya tulis, hanya
sedikit berbagi kisah masa lalu....oh iya...dusun kami bernama dusun Pranggang.
Secara teritorial tepatnya berada di Desa Brambang, Kecamatan Diwek, Kabupaten
Jombang, Jawa Timur.
No comments:
Post a Comment