Setelah 8 bulan saya bertugas di Cirebon
baru kali ini saya sempat mengunjungi bangunan Keraton Kanoman. Sebetulnya ada
2 keraton utama di Cirebon, yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Yang lebih populer
adalah keraton Kasepuhan. Dan saya justru penasaran dengan yang tak terlalu
populer. Rabu jam 1 siang saya pergi kesana
bersama teman saya. Kurang lebih 20 menit saya sempat berputar-putar di
daerah pasar Kanoman untuk mencari lokasi Keraton tersebut. Dan ternyata
betul bangunan yang seharusnya bisa dijadikan sebagai ikon kota Cirebon justru
tersisihkan oleh semrawutnya para pedagang di pasar Kanoman sehingga agak
kesulitan apabila kita akan mengunjungi bangunan tersebut.
Berbekal informasi yang saya peroleh dari
tukang parkir, perjalanan saya lanjutkan dengan jalan kaki menyusuri pertokoan
dan pasar. Sampai akhirnya saya melihat ada gapura dan berbelok kesana.
Jalannya terasa sempit saking ramainya orang lalu lalang, dan seringkali harus
mengalah pada mobil, motor, dan becak yang lewat.
Saya berjalan masuk ke dalam, mengikuti arah pintu-pintu yang terbuka, sampai akhirnya tiba di sebuah halaman, ada beberapa bangunan disana, yang ternyata adalah bangsal Jinem, yang digunakan Sultan Kanoman untuk menerima tamu, dan bangunan museum atau Gedung Pusaka Keraton Kanoman.
Tak lama kemudian saya di tegur oleh seseorang: “Ada perlu apa mas?” Saya jawab saja sedang jalan-jalan sambil lihat keraton. Saya pun berkenalan dengan orang yang ternyata adalah salah satu pengurus keraton. Oleh beliau, saya dibawa ke museum, atau disana disebut Gedung Pusaka Keraton Kanoman. Saat itu museum sudah buka dan saya diminta untuk membayar Rp. 7000 per orang. Tidak lama, saya dipersilakan masuk. Dan saya pun masuk ke sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, disana terdapat beberapa benda-benda peninggalan masa lalu.
Saya berjalan masuk ke dalam, mengikuti arah pintu-pintu yang terbuka, sampai akhirnya tiba di sebuah halaman, ada beberapa bangunan disana, yang ternyata adalah bangsal Jinem, yang digunakan Sultan Kanoman untuk menerima tamu, dan bangunan museum atau Gedung Pusaka Keraton Kanoman.
Tak lama kemudian saya di tegur oleh seseorang: “Ada perlu apa mas?” Saya jawab saja sedang jalan-jalan sambil lihat keraton. Saya pun berkenalan dengan orang yang ternyata adalah salah satu pengurus keraton. Oleh beliau, saya dibawa ke museum, atau disana disebut Gedung Pusaka Keraton Kanoman. Saat itu museum sudah buka dan saya diminta untuk membayar Rp. 7000 per orang. Tidak lama, saya dipersilakan masuk. Dan saya pun masuk ke sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, disana terdapat beberapa benda-benda peninggalan masa lalu.
Benda
yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah kereta kencana Paksi Naga
Liman yang sangat unik. Bentuk Paksi Naga Liman adalah perpaduan dari Paksi
(burung), Naga (Naga), dan Liman (gajah). Burung atau bouraq dengan sayapnya
mewakili unsur Islam, naga mewakili unsur Cina dan belalai gajah mewakili unsur
Hindu. Kereta ini dibuat pada tahun 1428 M, atas prakarsa Pangeran Losari
(tercantum di papan keterangan). Di masa
dahulu kereta ini ditarik oleh 6 ekor kerbau. Kereta ini tidak pernah digunakan
lagi sejak tahun 1940-an. Oleh karena itu dibuat replikanya, yang digunakan di
acara-acara tertentu.
Selain itu, terdapat kereta
Jempana, yang tahun pembuatannya sama dengan Paksi Naga Liman. Kereta Jempana
adalah kereta yang digunakan oleh permaisuri. Di kereta Jempana inilah terdapat
motif mega mendung yang sekarang terkenal sebagai ikon batik Cirebon.
Benda-benda lain yang dipamerkan di ruang museum antara lain gamelan yang dibuat sekitar abad 18, meriam-meriam peninggalan Portugis, kotak penyimpan barang, mesin jahit dari Raffles, keris, tombak, yang sayangnya kelihatan kusam.
Kemudian
saya dibawa ke sebuah tempat yang disebut Bangsal Jinem, tempat sultan atau
wakil sultan menerima tamu. Di dalamnya terdapat singgasana sultan yang sudah
tidak digunakan karena umurnya yang tua dan kondisinya yang lapuk. Bentuk
singgasana Sultan Kanoman ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Cukup
sederhana untuk dikatakan sebagai singgasana, menurut saya bukan tampak seperti
singgasana, lebih seperti kursi untuk selonjoran atau tiduran. Menurut salah
seorang kerabat keraton yang mengantar saya, singgasana Sultan yang memiliki
bentuk demikian menandakan bahwa kekuasaan Kesultanan hanya bersifat
simbolis, sudah ‘tertidur’, tidak lagi kuat dan memiliki pengaruh
besar seperti di masa lalu. Di samping kiri dan kanan tempat singgasana,
terdapat hiasan karang.
Setelah melihat-lihat Bangsal Jinem, saya
berjalan ke bagian depan keraton, tepatnya di halamannya. Dan saya pun
menemukan keunikan. Di dinding-dinding bangunan yang terdapat di halaman
keraton terdapat piring-piring porselen yang ditempel. Piring-piring tersebut
adalah hadiah dari Cina untuk keraton Cirebon, termasuk Kanoman dan Kasepuhan.
Ini terkait dengan kisah Sunan Gunung Jati yang menikah dengan seorang putri Cina
bernama Ong Tien.
Selain bangunan ini
terdapat beberapa pintu yang terbuat dari kayu yang sudah berumur sangat tua.
Dan berikut beberapa dokumentasi yang sempat saya abadikan.
No comments:
Post a Comment