Sunday, 15 December 2019

Napak Tilas Sisi Gelap Bangsa Indonesia di Pulau Buru


Ibarat menyusuri sejarah kelam bangsa Indonesia, saya berkendara sejauh 45 KM dari kota Namlea menuju unit-unit yang ada di Pulau Buru. Ditemani terik matahari yang memancarkan sinar dengan dosis lebih dari biasanya.

Bukit-bukit gundul yang beraroma sangit karena terbakar bagian bawahnya, seolah menjadi perfum tersendiri yang bisa saya rasakan.

Kanan kiri tidak ada rumah, hanya semak belukar dan dahan kering berserakan disepanjang perjalanan.

Sampai kawan saya memberhentikan kendaraannya di Unit pertama atau yang saat ini diberi nama Desa Savana Jaya. Saya menemui seorang kawan yang lahir di Pulau Buru, namanya Lukman. Orang tua nya berasal dari Jawa Timur dan mengikuti program transmigrasi di tahun 70 an.

Saya dan teman saya disambut dengan hangat. Kami ngobrol santai bertiga di teras rumahnya. Dia menceritakan beberapa kondisi masa kecilnya di Pulau Buru. Obrolan kami berselancar ke mana-mana sampai hujan turun dengan derasnya.

Karena belum bisa meneruskan perjalanan saya pun menunggu sampai hujan reda. Tak lama kemudian langit sudah mulai cerah kembali. Dan kami melanjutkan perjalanan ke beberapa unit lainnya, antara lain Unit 14, Waitele, Waikerta, Wanareja, Wanakarta dan Mako.

Saat memasuki Desa Wanakarta, Kecamanatan Waeapo. Saya menjumpai sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila.


Saya berhenti sejenak untuk mengambil beberapa dokumentasi sambil menggali informasi dari rekan saya, siapa sebenarnya sosok yang ada di patung ini ?

Konon patung ini bukan hanya untuk menghormati Pelda Panita Umar, tetapi lebih dari itu, patung ini ternyata juga sebagai catatan hitam. Begitu jasad Panita ditemukan tewas dengan tangan terputus, maka tanpa penyelidikan, hari itu juga segera saja 12 orang tahanan politik penghuni barak Unit 5 diciduk.

Empat orang ditembak mati, sisanya berhasil melarikan diri,  tetapi empat orang kemudian juga ditemukan mati di Namlea. Sedang sisanya lagi yang empat orang,  berbulan-bulan kemudian baru ditangkap dan langsung dieksekusi.

Gugurnya Pelda Panita Umar menggetarkan sekitar 12 ribu tahanan politik yang menghuni 20 unit barak penampungan di Pulau Buru. Siapa pun bekas tapol yang saat ini masih hidup, pasti tergetar hatinya apabila ditanya tentang peristiwa itu. Karena perlakuan yang dialami oleh seluruh tapol akibat tewasnya Pelda Panita Umar dirasakan amat luar biasa. 

Sampai saat ini tidak pernah ada penyelidikan mendalam tentang kematian Pelda Panita Umar. Ia dinyatakan gugur saat menjalankan tugas, dan patungnya bisa dilihat oleh siapapun yang melintas di jalan raya penghubung  Kabupaten Buru dengan Kabupaten Buru Selatan.

Patung tersebut memang sengaja tidak diberi tangan dan kaki, yang mana sama dengan kondisi Pelda Panita saat ditemukan mayatnya dimana tangan dan kaki nya terpotong.


No comments:

Post a Comment