Mengenalkan budaya bangsa kepada anak akan
menumbuhkan kesadaran anak akan arti pentingnya mencintai budaya bangsa. Pengenalan
budaya sejak dini bisa memberikan
edukasi kepada anak tentang keberagaman budaya yang harus saling dihargai
sehingga norma dan nilai budaya bangsa akan dapat terwariskan pada generasi
selanjutnya. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengenalkan budaya bangsa
kepada anak kita, diantaranya yaitu dengan mengajak mereka berkunjung ke
tempat-tempat yang mempunyai nilai sejarah seperti Candi, Situs-situs
bersejarah dan Museum. Harapannya agar kelak ketika mereka tumbuh dewasa akan
menjadi generasi yang bangga dengan budaya bangsa sendiri, mencintai, dan
melestarikan nilai-nilai luhur budaya serta bisa mengembangkan sikap menghargai
keberagaman budaya bangsa.
Kali ini saya mengajak anak saya untuk
berkunjung ke Candi yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal saya yaitu
Candi Pari dan Candi Sumur. Lokasi kedua Candi tersebut berada di desa Candipari,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.
Berdasarkan tulisan yang saya baca di pos juru kunci Candi Pari dan Candi Sumur ada kisah yang bisa saya tulis ulang tentang asal usul kedua Candi tersebut, diantaranya yaitu :
Pada jaman dahulu kala seorang tua bernama Kyai Gede
Penanggungan yang hidup di pegunungan, ia mempunyai adik perempuan janda
bertempat tinggal di desa Injingan, Kyai Gede Penanggungan mempunyai 2 anak
perempuan, yang sulung bernama Nyai loro Walang Sangit dan yang bungsu bernama
Nyai Loro Walang angin, keduanya berdiam dirumah Kyai Gede Penanggungan.
Sedangkan adiknya janda Ijingan mempunyai seorang anak laki laki bernama Jaka
Walang Tinunu, setelah dewasa ia amat tampan dan hormat kepada ibunya.
Pada suatu hari ia menanyakan pada ibunya siapakah
ayahnya, tetapi ibunya tidak mau menjawab dan hanya berkata , “Kamu tidak punya
ayah tetapi Kyai Gede Penanggungan adalah kakak saya. Kemudian Jaka Walang
Tinunu minta ijin pada ibunya membuka hutan untuk tempat tinggal dan
penggarapan sawah. Permintaannya dikabulkan oleh ibunya , maka berangkatlah
Jaka Walang Tinunu disertai dua orang temannya yaitu Satim dan Sabalong untuk
menuju ke dukuh Kedungkras ( desa Kesambi sekarang ), setelah menetap disana
tanpa suatu rintangan apapun, mereka mulai membabat rimba di Kedung Soko arah
utara Kedungkras dan arah selatan Candi Pari.
Beberapa waktu kemudian pada suatu malam teman teman
Jaka Walang Tinunu dengan sepengetahuannya memasang wuwu di Kali Kedung
Soko. Esok harinya wuwu diambil dan ternyata berhasil menangkap seekor ikan
Kotok yang dinamakan Deleg. Betapa gembiranya si Sabalong lalu ditunjukkan
kepada Jaka Walang Tinunu dan Satim. Setelah ikan dipotong dan dimasak, tetapi
ajaibnya ikan dapat berbicara seperti manusia dan menerangkan bahwa ia
sebenarnya bukan ikan, tapi seorang manusia. Bahwa dulu ia bernama Sapu Angin
yang mengabdi pada pertapa dari gunung Pamucangan dan ia berdosa pada pertapa
itu karena pernah mempunyai keinginan untuk menjadi raja. Dan ia diperkenankan
menjadi raja ikan, dengan demikian berubahlah ia menjadi Deleg sampai detik
masuk ke wuwu. Waktu mendengar riwayat Deleg itu maka terharulah Jaka Walang
Tinunu dan berkata “ Barang siapa berasal dari manusia kembalilah menjadi
manusia “ dan seketika itu ikan Deleg berubah menjadi manusia yang hampir
setampan dengan Jaka Walang Tinunu, lalu diberi nama Jaka Pandelegan dan
dianggap adik dari Jaka Walang Tinunu.
Demikianlah lalu mereka bersama sama membuka tanah dan
setiap hari mengolah tanah untuk lahan pertanian. Kemudian Jaka Walang Tinunu
memikirkan soal bibit, tetapi menemui jalan buntu, sebab dia sangat miskin
tidak punya apa apa untuk membeli keperluan menggarap sawah. Tapi tiba tiba ia
ingat apa yang dikatakan ibunya dulu, tentang Kyai Gede Penanggungan, tetapi ia
tak berani menyampaikan isi hatinya kepada Kyai Gede Penanggungan, Maka
permohonannya tentang bibit padi disampaikan kepada Nyi Gede yang selanjutnya
disampaikan pada suaminya, namun Kyai Gede tak percaya bahwa bibit itu akan
dipergunakan untuk bersawah.
Sebaliknya kedua putrinya waktu kedatangan Jaka Walang
Tinunu dan Jaka Pandelegan asmara didada mulai tumbuh melihat kesopanan dan
ketampanan kedua pemuda itu. Baru pertama kali kedua gadis tersebut melihat
pemuda yang begitu sopan dan tampan.
Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan sangat kecewa
karena permohonannya tidak dikabulkan, hanya diberi Mendang yang apabila
disebarkan tidak akan tumbuh. Lalu kedua putrinya disuruh untuk mengambilkan
Mendang tersebut, Karena kedua putrinya menaruh hati maka kesempatan ini tidak
disia siakan untuk mencampur bibit padi dengan Mendang yang akan diberikan
itu.Lalu diserahkan kepada dua pemuda itu dan Kyai Gede Penanggungan mengatakan
“ itulah bibitnya “
Setelah menerima Mendang 1 karung mereka mohon diri.
Kedua putrinya sudah terlanjur mencintainya maka keduanya mohon ijin kepada
orang tuanya untuk ikut dengan kedua pemuda itu, tetapi tidak diperkenankan,
Akhirnya kedua putrinya hanya memesan kepada kedua pemuda itu agar saat menanam
padi untuk memberitahu kepada Kyai Gede Penanggungan.
Setibanya dirumah secepatnya Mendang tersebut
disebarkan disawah dengan mendapat ejekan dari Sabalong dan Satim, karena yang
disebarkan itu tidak mungkin dapat tumbuh, Namun demikian Jaka Pandelegan dan
Jaka Walang Tinunu percaya apa yang diucapkan oleh Kyai Gede Penanggungan
tersebut.
Ternyata tumbuhnya sangat baik benar benar seperti
bibit sesungguhnya. Waktu pemindahan tanaman tiba Jaka Walang Tinunu dan Jaka
Pandelegan datang lagi pada Kyai Gede untuk mohon ijin agar kedua putrinya
membantu menanam padi. Tetapi tidak dikabulkan oleh Kyai Gede malah marah
dengan dalih bahwa kedua putrinya akan dipinang oleh Raja Blambangan , padahal
keduanya sudah sama sama mencintai , lalu kedua pemuda itu kembali pulang. Dan
diam diam kedua putri Kyai Gede melarikan diri menyusul , Nyai Loro Walang
Angin ingin jadi isterinya Jaka Pandelegan dan Nyai Loro Walang Sangit ingin jadi
isterinya Jaka Walang Tinunu. Akhirnya keduanya dapat bertemu dengan pemuda itu
ditengah jalan yang selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Kedung Soko.
Setelah Nyai Gede mengetahui kedua putrinya tidak ada
lalu memberitaukan kepada Kyai Gede, lalu mengejar kedua putrinya dipaksa untuk
kembali kerumah, tetapi ditolaknya. Sedangkan kedua pemuda itu tidak
menghiraukannya karena kedua anaknya ikut atas kemauannya sendiri. Maka
terjadilah suatu pertengkaran yang berakhir dengan kekalahan di pihak Kyai
Gede, sehingga terpaksa pulang kembali tanpa disertai kedua putrinya.Sedangkan
mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan kembali ke Kedung Soko.
Waktu tanaman berusia 45 hari sawah kekurangan air
sehingga Jaka Walang Tinunu menyuruh Jaka Pandelegan menyelidiki air. Ketika
sampai ditengah sawah berpapasan dengan seorang tua yang memerintahkan
agar Jaka Pandelegan menghentikan perjalanannya , yang menyebabkan dia murka.
Saat ia akan membunuh orang tua tersebut lalu ia jatuh pingsan. Ketika sadar
sangatlah takut dan menanyakan tentang namanya. Lalu orang tua tersebut
menjawab “ Namaku Nabi Kilir” pelindung semua air. Kemudian orang tua itu
memberikan nama kepada Jaka Pandelegan dengan nama Dukut Banyu, lalu berkata
“Kalau kamu sudah selesai bertanam adakanlah selamatan apabila sawahmu berhasil
dengan baik” Setelah itu orang tua menghilang. Waktu Jaka Pandelegan datang
kembali kesawahnya ternyata sudah penuh dengan air yang melimpah sampai panen
tiba.
Menurut “Shohibul Hikayat” tentang pemotongan Padi
karena luasnya sawah dan baiknya jenis tanaman maka orang dari segala penjuru
datang untuk ikut derep (memotong padi) tersebut. Juga diceritakan bahwa bagian
muka dipotong bagian belakang yang baru saja dipotong sudah kelihatan ada
tanaman padi yang sudah menguning, sehingga tidak ada habis habisnya. Adapun
hasil panenan ditumpuk di penangan, Justru penangan tersebut tepat di tempat
Candi Pari sekarang ini. Dan betapa banyaknya padi di penangan itu
Sementara kerajaan Majapahit mengalami
paceklik.Pertanian gagal banyak petani sakit. Lumbung padi dalam keraton yang
biasanya penuh menjadi kosong, karena luasnya sawah yang kena penyakit dan
gagal panen. Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa di Kedung Soko berdiam
seorang yang arif yang memiliki banyak padi. Maka diperintahkan kepada Patihnya
untuk meminta penyerahan padi dan dibawakan perahu lewat sungai arah tengara
Kedung Soko.Akhirnya Jaka Walang Tinunu bersedia untuk menyerahkan padinya
kepada utusan sang Prabu, dan padi padi tersebut diangkut ke tebing sungai dan
selanjutnya dimuatkan pada perahu perahu itu, walaupun berapa banyak perahu
yang disediakan, namun padi yang disediakan di tebing tetap tidak muat sehingga
tempat tersebut dinamakan desa Pamotan, Lalu padi dipersembahkan pada sang
Prabu Brawijaya yang diterima dengan suka cita . Lalu sang Prabu menanyakan
kepada sang Patih siapakah pemilik padi itu ? Maka sang Patih menjawabnya bahwa
yang memiliki padi itu bernama “Jaka Walang Tinunu” anak seorang janda Ijingan.
Maka teringat oleh sang Prabu bahwa baginda pernah
berhubungan dengan Nyai Rondo dimaksud, tetapi itu semua disimpan dalam hati
dan menitahkan Sang Patih untuk memanggil Jaka Walang Tinunu beserta isterinya.
Kemudian keduanya menghadap Sang Prabu . Setelah diamat amati ternyata benar
bahwa Jaka Walang Tinunu adalah putra Sang Prabu.
Selanjutnya Sang Prabu mengutus untuk memanggil Jaka
Pandelegan beserta isterinya dengan maksud akan dinaikkan pangkat derajatnya.
Dan apabila mereka tidak bersedia supaya dipaksa tanpa menimbulkan cidera pada
badannya bahkan jangan sampai menyebabkan kerusakan pada pakaiannya,
Selanjutnya pula Sang Prabu menanyakan siapakah temannya yang bernama Jaka
Pandelegan itu. Lalu Jaka Walang Tinunu menjawab bahwa Jaka Pandelegan yang
dianggap sebagai adiknya itu adalah berasal dari ikan Deleg.
Sebelum perintah raja itu disampaikan kepadanya,
Jaka Pandelegan sudah merasa akan mendapat panggilan akan tetapi panggilan
tersebut tidak akan dipenuhi, hal tersebut sudah dipertimbangkan dengan
isterinya.
Ketika Patih datang menyampaikan panggilan ia menolak,
sekalipun dipaksa tetap membangkang yang selanjutnya menyembunyikan diri di
tengah tengah tumpukan padi pada penangan itu. Dan sewaktu sang Patih berusaha
untuk menangkap dan mengepung tempat itu, maka Jaka Pandelegan menghilang tanpa
bekas. Setelah menghilangnya sang suami, Nyai Loro Walang Angin yang membawa
kendi berpapasan dengan patih disuatu tempat, sewaktu akan ditangkap berkatalah
ia “Biarlah saya terlebih dahulu mengisi kendi ini disebelah barat daya
penangan itu” Dan saat tiba disebelah timur Sumur, maka hilanglah istri Jaka
Pandelegan itu.
Setelah suami isteri itu hilang Sang Patih pulang
kembali untuk melaporkan peristiwa itu kepada Sang Prabu. Mendengar kejadian
itu Baginda sangat kagum atas kecekatan Jaka Pandelegan dan isterinya itu. Yang
akhirnya Sang Prabu Brawijaya mengeluarkan perintah mendirikan dua buah candi
untuk mengenang peristiwa hilangnya suami isteri itu. Maka didirikanlah dua
buah candi, yang satu didirikan dimana Jaka Pandelegan hilang yang diberi nama
CANDI PARI , sedangkan candi yang satunya didirikan ditempat dimana bekas Nyai
Loro Walang Angin menghilang dengan diberi nama CANDI SUMUR.
Dan kedua
candi itu baru dibangun pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk kira
kira pada tahun 1371 Masehi. Demikian cerita singkat asal usul berdirinya kedua
candi yang terletak di desa Candipari Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo.
No comments:
Post a Comment