Pada kesempatan yang lalu saya hanya bisa memotret pulau Maitara dari kejauhan, dan kali ini saya berkesempatan untuk mengunjungi pulau yang menawan tersebut secara langsung. Nama daratan yang menjadi salah satu penghuni kepulauan Maluku Utara ini memang tak setenar pulau-pulau lain di Indonesia seperti Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Meski demikian, pulau yang juga tercetak bersama Tidore di atas lembaran seribu rupiah ini mempunyai keindahan alam yang layak untuk dipublikasi.
Perairan di sekitar Maitara amat jernih dan jarang tersentuh. Bila berkunjung ke salah satu pantainya, hilir mudik ikan-ikan kecil beraneka warna amat mudah terlihat. Panorama alami ini bisa disaksikan tanpa adanya gangguan tumpukan sampah atau kotoran lainnya. Lokasinya yang lumayan terpencil membuat pantai-pantainya memiliki suasana tenang, cocok bagi anda yang ingin memburu keheningan dan kedamaian.
Sekilas
mengenai cerita rakyat tentang Pulau Maitara bahwa dulunya adalah bagian dari
pulau Makian. Sultan Mansyur Malamo yang kala itu memimpin kesultanan Ternate
merasa malu karena Tidore memiliki daratan yang lebih tinggi dari pulau
Ternate. Ia pun mengutus burung Goheba untuk mengambil tanah dari pulau Makian.
Oleh sang Sultan tanah itu nantinya akan di letakkan di atas puncak gunung
Ternate agar pulau ini berdiri lebih tinggi dari gunung yang ada di Tidore.
Di
perjalanan pulang, burung berkepala dua ini tersentak oleh sinar matahari yang
kala itu sudah menyingsing lebih dahulu di kawasan Tidore. Tanah yang berada
dalam cengkramannya pun jatuh diantara pulau Tidore dan Ternate.
Berangsur-angsur tanah tersebut berubah menjadi pulau yang sekarang dinamakan
Maitara.
Warga
masyarakat semakin yakin akan kebenaran mitos ini dengan adanya kenyataan tidak
pernah ada air tawar di temukan dari sumur-sumur rakyat yang tergali di pulau
Maitara. Setiap kali sumur digali, air yang di dapatkan adalah air asin dari
laut yang merembes ke atas.
Maitara
sendiri adalah bahasa Tidore yang berarti ‘makian ke ternate’. Versi lain
menyebutkan bahwa kata Maitara juga berarti ‘jatuh ke bawah’. Alasan lain yang
juga mendukung keberadaan mitos rakyat tersebut adalah bahwa pantai-pantai yang
berada di Maitara pasirnya berwarna putih, sama dengan warna pasir pantai di
pulau Makian dan berbeda dengan warna pasir di pulau Tidore atau Ternate yang
sebagian besar berwarna hitam.
Disini
juga telah dibangun monumen uang seribu rupiah.
No comments:
Post a Comment