Siang itu terasa menyengat di kulit, saya berjalan menyusuri kurang lebih 7
gapura untuk bisa memasuki area pemakaman sang Batoro Katong. Pada gapura ke
tiga ada seseorang menghampiri sambil menyampaikan bahwa sang Juru Kunci sudah
dipanggil dan dalam perjalanan. Rupanya ada se rombongan peziarah yang datang
bersama saya, sedikit saya melakukan introduction dan ternyata mereka adalah
adik-adik mahasiswa STAIN Ponorogo yang akan membaca tahlil di Makam Sang
Batoro Katong.
Bersama dengan rombongan tersebut saya berjalan memasuki 3 gapura sisanya. Dan
ternyata sang Juru Kunci sudah siap menyambut kami. Pak Mukim namanya. Tanpa basa
basi saya langsung memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan saya.
Setelah tau maksud saya beliau mulai menceritakan tentang sang Tokoh legenda yang ada di Kabupaten Ponorogo tersebut. Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.
Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah
seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yang bernama Putri Campa yang
beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu
Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak
Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan
Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha
di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya
V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi
Istrinya.
Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya). Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi dari elit istana yang lain yaitu Pujangga Anom Ketut Suryongalam (ki ageng kutu) dengan Reyog symbol kritik terhadap majapahit.
Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya). Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi dari elit istana yang lain yaitu Pujangga Anom Ketut Suryongalam (ki ageng kutu) dengan Reyog symbol kritik terhadap majapahit.
Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut
Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.Tokoh yang terakhir
ini, kemudian keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara
Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama
Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di
kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat
tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri
dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.
Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.
Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.
Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo
inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan
Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan
Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan
warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng
Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling
berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa
paling berpengaruh saat itu.
Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain. Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.
Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri.
Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.
Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu. Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.
Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar. Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.
Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di
eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif
tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan,
semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong,
inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan
agama Islam.
Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama. Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 saka atau tahun 1496 M.
Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama. Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 saka atau tahun 1496 M.
Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 WIB dan saya segera pamit
kepada Pak Mukim untuk ke stasiun Madiun. Dimana jadwal kereta saya jam 11.55
WIB.
Mari kita rawat cagar budaya yang ada disekitar kita.. berkat perjuangan mereka semua kita bisa ada dan bisa menikmati masa sekarang.
ReplyDelete